Cerpen Toni Lesmana (Kompas, 7 Desember 2014)
Mereka duduk di rel. Satu jalur rel yang tak
terpakai, dari lima jalur yang ada di depan stasiun kecil yang sunyi itu. Rel
di pinggir parit ini adalah rel terjauh dari depan stasiun. Rel ini berakhir di
sebuah tugu mungil setinggi satu meter, ke sananya lagi kebun singkong. Mereka
duduk tepat di depan mulut sebuah gang yang, diapit kolam-kolam kecil, mengarah
ke rumah-rumah temaram.
Tak ada kereta yang lewat. Sepi. Angin
mengantar dingin. Lampu di stasiun seberang mereka benderang. Begitu pula
lampu-lampu yang menerangi rel. Enam tiang, setiap tiang dua lampu. Mirip
sepasang mata. Sedikit jauh di arah barat dan timur, pada jarak yang mulai
gelap, di setiap jalur berdiri juga tiang-tiang lampu lainnya. Semuanya
menyorotkan warna merah. Empat di barat, empat di timur.
Saronay menatap bulan bulat putih di langit.
Ia tercekat. Tiba-tiba saja dalam pandangannya melayang-layang kain kafan. Bulan
yang putih, malam ini, tak lagi cahaya. Ia melihat kafan melayang di langit.
”Batu-batu bisa mengaduh, tapi mereka tak bisa
bicara!” kekasihnya melempar-lempar batu kecil ke arah rel yang lain. Kadang
terbit denting, selebihnya senyap.
Saronay masih menikmati langit. Seperti
seseorang yang bercermin dan terkesima menemukan bukan dirinya yang nampak di
cermin. Ia tengadah dengan napas tertahan. Ia ingin bertanya kenapa bulan
tampak seperti kain kafan. Kain kafan yang seakan dipenuhi kata-kata. Kata-kata
yang tak bisa ia baca.
Ia tahu tak mungkin bertanya pada kekasihnya
yang sedang dibakar cemburu. Kekasihnya selalu cemburu jika Saronay mabuk.
Setiap kali mabuk ia selalu mendiamkan kekasihnya. Dan kalau sedang cemburu,
kekasihnya akan minum lebih banyak, dan lebih mabuk darinya.
”Angin bisa bikin gigil, tapi mereka tak bisa
bicara!” kekasihnya merapatkan jaket. Membakar rokok. Batuk-batuk. Rokok
diinjak. Membakar lagi yang baru. Batuk-batuk lagi. Kunang-kunang hinggap di
batu. Dikejarnya dengan bara rokok. Tak berhasil. Bara rokok ditekankan ke
punggung tangan kirinya. Terpejam. Padam.
Saronay bangkit, tangannya menggapai-gapai
udara, seakan ingin menangkap bulan. Tubuhnya bukannya melompat, malah miring.
Bunyi tanda akan kedatangan kereta nyaring
dari stasiun. Suara operator mengabarkan nama kereta, kota asal dan tujuan
kereta tersebut. Beberapa petugas keluar dari ruangan. Berdiri di pinggir rel
jalur satu. Satu lampu merah berganti hijau di arah timur. Suara gemuruh dari
timur. Sorot cahaya datang. Gemuruh dan cahaya mendekat. Melambat. Kereta
dengan gerbong-gerbong kosong berhenti. Stasiun tertutup kereta.
”Kereta bisa gemuruh, tapi mereka tak bisa
bicara!” kekasihnya membakar rokok. Batuk-batuk. Dan menekan bara pada punggung
tangan. Tak meringis. Hanya menangis.
Saronay semakin miring. Jarinya meraih-raih di
udara. Mukanya tetap tengadah. Bulat bulat putih. Jauh melayang di angkasa.
Melayang-layang kain kafan. Remang muram kata-kata.
Beberapa wajah mengintip dari jendela kereta.
Sebagian kepala-kepala terkulai seperti tak berbadan. Peluit nyaring. Gemuruh.
Kereta berangkat. Pelan. Ke arah barat. Menghilang di gelap kelokan. Para
petugas menghilang lagi ke ruangan. Stasiun hanya terang lampu dan beberapa
burung mungil yang mencari tempat tidur.
Siapa yang tenang bersemayam dalam kafan,
kata-kata apa yang nyaman berkendara kafan, di mana bulan, di mana cahaya.
Saronay terus miring oleh gejolak pertanyaan, telunjuknya mulai menunjuk
langit. Runcing dan gemetar.
”Luka bisa bikin perih, tapi mereka tak bisa
bicara!” kekasihnya mulai membuka botol minuman. Mereguknya lalu dimuntahkan
pada luka di punggung tangannya. Berulang. Bau minuman dibawa angin.
Kunang-kunang hinggap di rel. Cepat botol
minuman menghajarnya. Prang. Botol dalam genggaman tersisa setengahnya.
Ujung-ujung runcingnya berkilat. Tajam.
Saronay terjatuh telentang di atas rel dengan
wajah tetap memandang langit, telunjuk lurus ke bulan.
Kekasihnya mulai menjilati reruncing botol.
Menikam punggung lengan. Ditarik lagi. Dijilati lagi.
Seseorang muncul dari gudang tua di sebelah
kanan stasiun. Berjalan melintasi rel. Seorang lagi berlari menyusul. Tepat di
bawah sepasang lampu, nampak pakaian mereka lusuh. Lelaki dan perempuan.
Berjalan menuju Saronay dan kekasihnya.
”Bagaimana? Kau dapat banyak? Beli apa saja
buat makan?” tanya yang lelaki, mungkin suaminya.
”Orang-orang makin pelit! Ini aku beli ikan
bakar kesukaanmu.” jawab yang perempuan.
”Mantap itu. Ya. Hanya anak-anak saja yang
masih mau memberi.”
”Barangkali mereka sudah tak percaya pada
amal.”
”Jaman memang makin sulit. Semakin tak ada
yang murah hati.”
”Padahal rejeki mereka akan berlipat kalau
banyak memberi pada orang miskin.”
”Haha … rejeki kita yang berlipat kalau mereka
banyak memberi.”
Mereka tertahan sejenak.
”Beri mereka!” bisik suaminya.
”Beri apa?” bisik istrinya.
”Uang receh. Sekali-kali kita memberi. Mereka
lebih menyedihkan dari kita. Biar rejeki kita berlipat.”
”Mereka orang kaya.”
”Ya. Tapi lebih menyedihkan dari orang
miskin.”
Istrinya melempar uang receh. Suami istri
peminta-minta berjalan hati-hati. Hampir mengendap-endap. Menghindari Saronay
dan kekasihnya. Melompati parit. Masuk gang.
Petugas keamanan stasiun keluar. Berdiri.
Melihat ke segala arah. Seorang lagi keluar. Seluruhnya tiga orang. Dua orang
membawa senter. Berjalan menyusuri dan menyoroti rel ke arah timur. Sampai
lampu yang berwarna merah. Kembali lagi. Masuk lagi ke ruangan.
Angin makin dingin. Kabut turun. Tipis.
Membayang di lampu-lampu.
Bulan bulat putih. Pucat. Sedikit bergeser ke
barat.
Saronay mendadak bangun. Duduk miring. Di
matanya kafan berubah menjadi sajadah putih. Kata-kata yang remang gelap
berlepasan dan menyatu berdiri di atasnya. Sajadah melayang dan kata-kata
tegak.
Saronay merasakan gelegak pertanyaan. Di mana
bulan, di mana cahaya. Pertanyaan yang saling berbenturan dalam kepalanya. Ia
berharap dapat membaca kata-kata itu. Ia berharap jawaban. Tapi pikirannya
benar-benar mabuk.
”Darah bisa ngalir, tapi mereka tak bisa
bicara!” kekasihnya masih menjilati darah di ujung reruncing botol. Luka tak
hanya di punggung tangan, tapi memanjang di lengan, sebagian di pipi.
Seluruh tubuh Saronay bergetar. Ia mencoba
bangkit lagi. Miring. Jari-jarinya meraih-raih. Di matanya terus saling
bergantian antara kafan dan sajadah. Kata-kata yang terbaring dan tegak.
Saronay merasakan gelegak terus memuncak. Ia
tak tahan dengan serbuan mabuk, tikaman pertanyaan.
”Aku harus pergi! Kita benar-benar harus
berpisah!” ucapnya patah-patah sambil tetap menatap bulan bulat putih, sambil
semakin miring.
”Tak bisa. Kita saling mencintai! Kau terlalu
mabuk. Dan aku cemburu pada mabukmu.” kekasihnya mengangkat botol
tinggi-tinggi.
”Ada yang lebih mencintaiku!” suara Saronay
berat serak.
”Tak ada yang lebih mencintaimu daripada aku!”
”Aku harus pergi! Aku tak mencintaimu!”
”Kau mencintaiku!”
”Aku harus pergi! Aku harus pergi!” Saronay
mulai berteriak tapi tubuhnya semakin miring.
”Kau mabuk! Kau lebih mencintai mabuk daripada
aku!” kekasihnya mengarahkan ujung botol ke muka Saronay yang masih saja
tengadah ke langit.
”Aku harus pergi!”
”Kau mau pergi ke mana? Mabuk ada dalam
tubuhmu. Akan kukeluarkan sekarang juga.” Kekasihnya bergerak mengancam.
”Aku harus pergi! Pergi menemukan kata-kata!
Kata-kata!” Saronay tak memedulikan ancaman reruncing botol. Matanya dipenuhi
kafan dan sajadah, yang terus bergantian, menggodanya dengan kata-kata.
”TIdak bisa! Kau mabuk, Kekasihku! Jika mau
pergi kau harus bertempur dulu denganku. Baru kau boleh bertemu dengan apa
saja. Mabuk sialan. Kata-kata sialan! Kalau perlu kuantar kau ke rumah mabuk,
ke rumah kata-kata.” kekasihnya bergerak memburu. Cemburu sudah
”Aku harus pergi! Aku mencintai kata-kata!”
Saronay masuk dalam pelukan kekasihnya.
Bunyi tanda kedatangan kembali nyaring dari
stasiun. Gemuruh di kejauhan. Sorot cahaya dari arah barat.
Saronay yang terus meracau digusur kekasihnya
memasuki gang. Darah menetes di gang. Berbelok ke sebuah mushola di pinggir
kolam. Keduanya lenyap bersamaan dengan decit memanjang dari kereta yang
berhenti.
Bulan bulat putih semakin tergelincir ke
barat. Selepas kereta berangkat lagi, stasiun kembali sunyi. Angin semakin
dingin. Berhembus tipis. Mengiris apa saja.
Kegaduhan terjadi menjelang subuh. Seseorang
yang hendak masuk mushola, tiba-tiba berlari dan berteriak-teriak seperti orang
gila, berlari ke rumah-rumah temaram. Menggedor setiap pintu.
Orang-orang dengan kantuknya masing-masing
berhamburan menuju mushola.
”Ada apa?” teriak seseorang yang baru datang.
”Saronay dan Sarotoy!” jawab yang lain
gemetar.
”Pemabuk itu? Pasangan itu? Kenapa?” teriak
yang lain.
”Mati di mushola!” jawab yang lainnya lagi
terkencing-kencing.
”Beruntung sekali mereka mati dalam mushola.
Mungkin mereka dijemput ajal ketika sedang tobat!” kata yang lainnya, diamini
oleh yang juga baru datang.
Orang-orang berebutan ingin melihat ke dalam
mushola, nampak di sana berpelukan sepasang tubuh bermandikan darah. Darah di
mana-mana. Sepasang tubuh laki-laki telanjang. Saronay dan kekasihnya.
Orang-orang terus berdatangan. Mushola
mendadak ramai seperti pasar. Stasiun tetap didatangi dan ditinggalkan kereta.
Di langit, bulan bulat
putih terus mengelinding ke arah barat. Putih pucat bercadar awan tipis.
Seperti dibungkus kafan, seperti mengendarai sajadah.
0 comments:
Post a Comment