Cerpen
Mashdar Zainal (Kompas, 28 Desember 2014)
Perempuan itu duduk
dengan sangat tenang, sambil menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak
runtun. Jarum mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas
ditariknya kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang berjuntaian.
Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka
berarti. Ia menjahitnya begitu saja, seperti menjahit sebuah kain yang
terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu
serapat-rapatnya. Sampai tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa
mengeluarkan suara. Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
Semula, ia adalah
perempuan yang banyak sekali bicara. Setiap orang yang ia temui, entah ia kenal
entah tidak, akan ia ajak bicara. Bicara apa saja. Obyeknya pun bisa apa saja.
Di mana saja dan kapan saja. Perempuan itu akan terus bicara. Sampai mulutnya
berbusa-busa. Dan mengeluarkan bau yang sangat tidak sedap.
Semula, perempuan itu
tidak menyadari akan bau yang sangat busuk, yang menguar dari mulutnya itu. Hingga
suatu ketika, satu persatu, orang yang ia ajak bicara selalu menutup hidung,
mata dan telinga mereka. Beberapa yang lain, memilih untuk menghindar,
meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ketika ia bertanya, apa yang salah dengan
ucapannya, beberapa orang memilih untuk jujur, dengan mengatakan, bahwa setiap
ucapan yang keluar dari mulutnya, tidak hanya bau, tapi juga buas, tajam,
beracun, dan bisa membunuh siapa saja.
Maka, serta merta,
perempuan itu menyadari sesuatu, bahwa mungkin, semua keluarganya—bapak, ibu,
dan adik perempuannya—yang mati beberapa tahun lalu itu, tak lain dan tak bukan
disebabkan oleh sesuatu yang menyembul dari mulutnya. Mendadak, perempuan itu
teringat kata-kata bapaknya—yang seorang pemburu, ”Mulutmu adalah harimau, jika
kau tidak bisa menjadi pawang yang baik, jika kau tak bisa mengendalikannya
dengan baik, kau akan diterkamnya sendiri.”
Beberapa hari setelah
mengatakan itu, pada suatu malam bapaknya dinyatakan hilang di hutan saat
melakukan perburuan, hingga paginya, ketika dilakukan pencarian, bapaknya sudah
ditemukan tewas terperosok ke dalam jurang, dengan tubuh penuh luka sayatan,
luka yang memanjang seperti bekas cakaran binatang buas. Ketika itu, ia hanya
menerka-nerka, bahwa bapaknya tewas diterkam binatang buas sebelum akhirnya
terlempar ke ceruk jurang.
Namun, jika ditelusuri,
sebenarnya ia sendiri yang membujuk bapaknya untuk berburu ke hutan
malam-malam. Saat malam hari, semua binatang yang bersembunyi akan keluar dari
sarangnya, jadi bapak akan pulang dengan binatang buruan yang melimpah,
begitulah ia meyakinkan bapaknya dengan kata-kata. Hingga bapaknya benar-benar
berangkat ke hutan malam-malam buta.
Kini, perempuan itu
mulai berani menyimpulkan sesuatu, tentang harimau yang dituturkan bapaknya.
Jika harimau itu bisa menerkam pemiliknya sendiri, bukan tidak mungkin ia akan
menerkam dan melukai orang yang ada di sekitarnya. Kematian bapaknya adalah
sebuah bukti nyata.
Beberapa bulan setelah
bapaknya meninggal dikoyak binatang buas. Ibunya, yang seorang penjual daging,
juga ditemukan tewas dengan beberapa luka tusukan di tubuhnya. Kabar yang
beredar ketika itu adalah, ibunya telah menjadi korban perampokan yang beberapa
waktu terakhir kian marak. Hal tersebut dibuktikan oleh barang-barang dan
perhiasan yang dibawa ibunya yang turut raib. Mendadak, ia teringat bahwa
beberapa waktu sebelum ibunya ditemukan tewas, ibunya pernah bertutur padanya,
”Mulutmu adalah pisau, Nak. Tajam dan bisa menghunjam apa saja. Jika kau tak
menggunakannya dengan baik, kau bisa teriris sendiri olehnya.”
Beberapa waktu, jauh
sebelum kejadian itu, ia selalu berkoar pada banyak orang, bahwa ibunya adalah
seorang perempuan yang sangat pelit. Tak pernah sudi mengeluarkan sepeser uang
pun untuk menyenangkan anaknya. Padahal ia tahu, ibunya punya banyak uang dan
perhiasan yang nilainya jutaan. Ketika itu, ia juga sempat menjabarkan
kebiasaan buruk ibunya, yang suka menyembunyikan aneka perhiasan dalam dompet
butut yang selalu dibawanya ke mana ia pergi.
Kini, barulah perempuan
itu mafhum mengenai pisau yang dibicarakan ibunya.
Mengenai adik
perempuannya yang meninggal karena menenggak racun, ia mulai meraba-raba, dan
satu hal yang kemudian hinggap dalam ingatannya. Suatu ketika, adik
perempuannya itu pernah berkata, ”Mulutmu adalah gua beracun, jadi, lebih baik
tidak terlalu sering kau membukanya. Kau tahu, racun itu sangat berbahaya, bisa
membunuh siapa saja.”
Beberapa hari setelah
itu, secara
tak sengaja, ia memergoki kekasih adiknya tengah berduaan dengan gadis lain. Dan baginya, perkara semacam itu
adalah perkara yang wajib ia ceritakan. Maka, sesampainya di rumah, ia menceritakan perselingkuhan itu pada adiknya, dengan sedikit bumbu-bumbu supaya semakin pedas. Maka terjadilah pertengkaran hebat antara sepasang kekasih itu. Berselang waktu, lambat laun, adiknya menjadi seorang gadis yang sangat pemurung. Tak banyak kata. Suka menyendiri. Mengurung
diri di dalam kamar. Hingga suatu malam, ia ditemukan tewas bunuh diri dengan menenggak sebotol racun serangga.
tak sengaja, ia memergoki kekasih adiknya tengah berduaan dengan gadis lain. Dan baginya, perkara semacam itu
adalah perkara yang wajib ia ceritakan. Maka, sesampainya di rumah, ia menceritakan perselingkuhan itu pada adiknya, dengan sedikit bumbu-bumbu supaya semakin pedas. Maka terjadilah pertengkaran hebat antara sepasang kekasih itu. Berselang waktu, lambat laun, adiknya menjadi seorang gadis yang sangat pemurung. Tak banyak kata. Suka menyendiri. Mengurung
diri di dalam kamar. Hingga suatu malam, ia ditemukan tewas bunuh diri dengan menenggak sebotol racun serangga.
Satu persatu, perempuan
itu mulai merunut, hingga ia menemukan akar dari semua permasalahan, yakni
mulut, mulutnya sendiri. Mulutnya yang sangat buas seperti harimau. Mulutnya
yang sangat tajam seperti mata pisau. Mulutnya yang sangat berbahaya seperti
bisa. Menyadari dirinya telah berubah menjadi monster yang telah mencelakakan
dan dijauhi banyak orang, perempuan itu memutuskan untuk menjahit mulutnya
sendiri. Menutup pintu bencana yang selama ini telah menyusahkan banyak orang.
Dengan sangat tekun,
perempuan itu menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum
mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya
kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang berjuntaian. Sulaman itu
begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia
menjahitnya begitu saja. Seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti
menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya.
Sampai tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara.
Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
Usai menamatkan
jahitannya, perempuan itu berjalan terhuyung mendekati cermin. Dengan saksama,
ia memerhatikan mulutnya sendiri yang kini telah rapat oleh sulaman benang.
Dirabanya mulut itu pelan-pelan, hati-hati. Dari kiri ke kanan. Dari kanan ke
kiri. Benar-benar rapat. Ia menghela napas lega. Pintu bencana yang selama ini
terbuka telah sempurna ditutupnya. Detik itu, ia hendak tersenyum puas. Namun,
ketika ia hendak tersenyum, mendadak ada yang sangat nyeri di sekitar bibirnya.
Seketika itu pula ia menyadari, bahwa bibirnya tak mungkin bisa ia ajak
tersenyum lagi. Karna bibirnya telah tertutup rapat oleh jahitan.
0 comments:
Post a Comment