Cerpen
Budi Darma (Kompas, 23 Juni 2013)
BARANG siapa
pernah keluyuran di kota S pasti tahu, di sana ada sebuah plaza khusus untuk
makan-makan, minum-minum, nonton bioskop, main di karaoke, dan hiburan-hiburan
lain.
Di
plaza itu ada sebuah kedai kopi terdiri atas dua lantai, lantai bawah agak
luas, lantai atas agak mungil, dan beberapa kursi disediakan di pelataran
bawah. Pada waktu-waktu tertentu kedai kopi ini kosong, atau hanya beberapa
orang saja yang datang, dan pada waktu-waktu tertentu pula kedai kopi ini
penuh. Bukan hanya penuh di lantai bawah, tapi juga lantai atas, dan
kadang-kadang, seperti kedai-kedai makan lain, sekian banyak kursi di pelataran
juga penuh.
Kebetulan,
siang itu kedai kopi sedang kosong. Seorang laki-laki muda masuk ke lantai
satu, disambut oleh pelayan, lalu diantar ke lantai atas. Dari lantai atas dia
bisa melihat berbagai pemandangan di bawah sana, dan dia tahu, bahwa di bawah
sana ada seorang laki-laki bernama Kringkin, dan dia tahu juga bahwa Kringkin
tidak sendirian.
Pelayan
menyodorkan daftar makanan, lalu berdiri dengan tegap dan amat sopan, menunggu.
Tanpa
melihat daftar makanan, Lukito memesan makanan kesukaannya, dan juga kopi
kesukaannya. Tampaknya pelayan ini baru, belum mengenal Lukito sebagai
pelanggan yang sering sekali datang ke kedai kopi itu.
Setelah
pelayan turun ke lantai bawah, Lukito membuka laptopnya, dan karena dia hapal
password internet kedai kopi itu, dia segera menghubungkan laptopnya dengan
internet.
Di
melihat, di bawah sana Kringkin mengobrol dengan teman-temannya, kemudian
teman-temannya pergi satu per satu, kemudian beberapa teman lain datang, juga
satu per satu. Dan seperti biasa, Kringkin tidak pernah lepas dari rokok.
Setelah
berselancar beberapa saat di internet, dia mencium bau khas rokok, dan rokok
itu pasti terselip di bibir Kringkin. Lalu dia mendengar seseorang menaiki
tangga, dan dia juga tahu bahwa orang itu bukan pelayan.
Benar,
beberapa saat kemudian Kringkin masuk di lantai atas, kemudian, tanpa ditawari,
duduk di kursi meja Lukito. Seorang pelayan segera naik, lalu memberitahu
Kringkin bahwa lantai atas adalah lantai bebas rokok. Kalau mau merokok, ada
tempat khusus di lantai bawah, dan juga di pelataran. Dengan sikap manis,
Kringkin mematikan rokoknya, tapi tetap memegang puntung rokoknya.
Pelayan
bertanya mau pesan apa, dan dengan sikap manis pula Kringkin mengatakan: ”Sama
dengan yang dipesan sahabat saya ini.”
Pelayan
turun, Lukito sibuk dengan internetnya, dan Kringkin mengawasi Lukito. Beberapa
saat kemudian pelayan naik lagi, membawa kopi dan makanan kecil pesanan Lukito.
Sebelum meninggalkan mereka, pelayan mengatakan bahwa sebentar lagi pesanan
Kringkin akan dibawa ke lantai atas.
Begitu
pelayan turun, dengan sikap sangat sembarangan Kringkin memasukkan puntung
rokoknya ke gelas kopi Lukito, lalu berkata dengan manis: ”Sudah lama, ya, kita
tidak pernah bertemu.”
Lukito
tetap diam, tetap menatap layar laptopnya.
”Kamu
tahu siapa saya?”
”Kalau
tahu kamu mau apa? Dan kalau tidak, kamu mau apa?”
Mereka
diam agak lama, dan setelah pelayan datang membawakan pesanan Kringkin, dengan
sikap sangat sopan Kringkin menyapa pelayan.
”Orang
muda ini sahabat saya. Sahabat sejak lama. Melalui saya tadi dia pesan, selama
kami di sini jangan terima tamu di sini. Anggap saja di sini sudah penuh.
Jangan khawatir, sahabat saya akan membayar, berapa pun mahalnya.”
Dengan
tenang Lukito berkata: ”Begini, Pak, sahabat saya ini pelawak. Anggaplah semua
omongannya sebagai lawakan. Kalau ada tamu mau ke sini, silakan.”
Kringkin
dan Lukito tertawa, dan pelayan pun ikut-ikutan tertawa.
Setelah
pelayan turun, Kringkin dan Lukito diam agak lama. Lukito tetap menatap layar
laptopnya, dan sesekali menggerak-gerakkan tetikusnya.
Kringkin
membuka percakapan:
”Kamu
ingat ketika saya digiring polisi? Di pengadilan?”
”Mana
mungkin saya tidak ingat.”
”Sikap
kamu sangat melecehkan.”
”Itu
urusan saya sendiri.”
”Saya
menyesal,” kata Kringkin.
”Karena
tidak mengirimkan arwah saya ke sorga?”
”Bukan
ke sorga. Ke neraka jahanam.”
”Begini,
Kringkin, saya punya cerita. Kalau kamu suka, saya akan bercerita. Kalau kamu
tidak suka, tidak ada satu orang pun yang melarang kamu meninggalkan tempat
ini.”
”Kamu
mulai pandai berpidato.”
“Ingat,
dulu saya lembek. Sekarang tidak.”
Kringkin
mulai menginjakkan sepatunya ke atas sepatu Lukito.
”Saya
bilang sekarang saya kuat. Lepaskan injakan kaki kamu.”
”Saya
mengalah,” kata Kringkin sambil menggeser sepatunya, lalu berkata, ”Kamu ingin
mengulangi bualan kamu di koran, ya?”
”Saya
sambung cerita saya, Kringkin. Pada suatu malam saya iseng main-main di Play
Station Rangkah. Di situ ada seorang laki-laki. Sangat ramah dan sangat sopan.
Dia memperkenalkan diri, namanya Sungkoco. Karena dia sangat baik, saya
bersedia diajak ngobrol. Lalu kami main tarung-tarungan di internet. Dia selalu
menang. Sejak saat itu dia bersahabat dengan saya. Sebetulnya saya sudah
mencium bau busuk: laki-laki ini pasti bajingan. Tapi karena saya lembek, saya
mau diajak dia ke mana-mana. Dan saya selalu traktir dia. Lalu dia sering
datang ke rumah saya.”
”Sama
dengan bualan kamu di koran.”
”Sekarang
saya kuat. Tidak lembek. Dengarkan cerita saya. Kalau kamu tidak mau, terserah.
Tapi saya tahu apa yang harus saya lakukan.”
”Wah,
kamu sekarang berlagak jagoan.”
”Malam
itu,” kata Lukito, ”Sungkoco datang ke rumah saya.”
”Seperti
biasanya, Sungkoco bersikap sangat sopan, itulah bualanmu di koran. Dan malam
itu Sungkoco datang bersama saya.”
”Rumah
itu rumah saya, Kringkin. Rumah saya sendiri.”
”Samalah,
dengan bualan kamu di koran,” kata Kringkin, sambil menyeringai.
“Dengar,
Kringkin. Bersabarlah sebentar. Bukankah malam itu kamu sangat sabar?”
”Teruskan,”
kata Kringkin.
”Di
rumah itu ada dua teman saya, Ridwan dan Waluyo. Mereka teman sesama mahasiswa.
Mereka melarat. Tidak punya uang untuk kos. Saya minta mereka tinggal di rumah
saya.”
”Teruskan,”
kata Kringkin sambil mengangkat gelas kopi, lalu pura-pura tidak sengaja
mengguyurkan kopi itu sedikit ke celana Lukito.
”Seperti
dulu, kamu pandai berpura-pura, Kringkin. Dulu berpura-pura manis. Sekarang
pura-pura tidak sengaja menyiramkan kopi ke celana saya.”
”Teruskan
cerita kamu,” kata Kringkin lagi sambil berusaha menginjak kaki Lukito di bawah
meja.
Dengan
sigap Lukito mengelak, dan dengan sigap pula dia menendang kaki Kringkin.
”Malam
itu kamu minta disuguhi kopi. Tanpa kamu minta pun, sebetulnya saya akan
menyuguhi kamu. Mungkin kopi. Mungkin coklat. Mungkin wedang jahe. Karena kamu
minta kopi, saya masuk, meracik kopi. Lalu kamu minta Ridwan dan Waluyo
menyuguhi mie klotok. Karena saya tuan rumah, saya masuk lagi, meracik mie
klotok. Sesudah itu saya tidak tahu apa-apa.”
”Selanjutnya
kamu membual di koran.”
”Tahu-tahu
saya tergeletak entah di mana. Seorang perempuan berbaju putih, berkerudung
putih, bilang dia suster. Kata suster saya pingsan lebih dari dua minggu. Kata
suster saya masih harus tinggal di situ.”
”Apa
lagi kata suster?”
”Bukan
urusan kamu. Urusan saya. Setelah berbulan-bulan tergeletak, ayah saya
dipertemukan dengan saya. Ayah bilang Ridwan dan Waluyo meninggal. Kepala
mereka dikepruk perampok. Saya dikira meninggal. Kepala saya diganden
perampok.”
”Persis
sama dengan bualan kamu di koran.”
”Saya
tahu kamu bajingan licik. Tapi ketika saya melihat kamu di pengadilan, saya
tetap tidak percaya kamu membunuh dua teman saya. Dan saya.”
”Itu
perbuatan Sungkoco. Saya tidak terlibat.”
”Sungkoco
mati ditembak polisi. Karena dia melawan.”
”Memang
dia goblok. Saya tidak terlibat. Dan akibat saya berbuat baik mengantarkan
Sungkoco ke rumah kamu, saya dilemparkan ke penjara tiga tahun. Apa kamu mau
lepas tanggung jawab?”
”Saya
tahu. Setelah beberapa tahun jadi buron, kamu dihukum tiga tahun. Seharusnya
kamu dipancung.”
”Kalau
tiga tahun kamu anggap terlalu ringan, itu betul. Saya pandai. Sungkoco
goblog.”
”Saya
tahu mengapa kamu hanya dihukum tiga tahun.”
”Karena
saya pandai.”
”Dengar
baik-baik, Kringkin. Kamu pernah jadi mahasiswa. Meskipun kamu tidak pernah lulus
karena diusir dari universitas, kamu pasti mengenal nama Shakespeare.”
”Kamu
ingin kasih ceramah, ya?”
”Shakespeare
pernah mengatakan: ’bunuhlah semua pengacara’.”
”Betul,
kan, kamu kasih ceramah. Saya bukan orang bodoh. Saya tahu maksud kamu. Kamu menuduh
saya menyuap pengacara, kan?”
”Kalau
tidak menyuap, ya, meneror. Pengacara harus berani menolak suap. Pengacara
harus berani melawan teror.”
”Kamu
mulai berkhotbah. Saya orang jujur. Tidak mungkin menyuap. Tidak mungkin
meneror.”
”Dan
kamu berkhianat. Sungkoco kamu jadikan umpan. Polisi datang, meringkus
Sungkoco. Kamu minggat.”
”Sungkoco
goblog. Tapi dia teman saya. Barang siapa berani mengusik teman saya, saya
libas.”
”Itu
urusan kamu. Urusan saya: ayah dan ibu saya menunggui saya di rumah itu satu tahun
penuh. Itu setelah saya ke luar dari rumah sakit. Dan saya di rumah sakit
berbulan-bulan. Uang mereka hampir habis. Untuk membayar rumah sakit.
Perusahaan mereka di kota B nyaris bangkrut. Karena lama tidak terurus. Maka
saya paksa mereka pulang.”
”Dan
kamu hidup sendiri di rumah itu. Dan kamu membual di koran kamu tidak takut.”
”Apa
lagi yang kamu tahu?”
”Kamu
membual, kamu tidak mau putus kuliah. Kamu akan kerja keras. Kamu kejar nilai
paling rendah B”
”Dan
saya sudah lulus. Nilai saya tinggi. Jauh di atas B.”
”Lalu
kamu membual mau bikin perusahaan.”
”Perusahaan?
Saya sudah punya.”
”Saya
punya banyak teman di luar sana.”
“Besok
jam sepuluh saya akan terbang ke pulau M. Membuka perusahaan baru.”
”Di
pulau M saya juga punya banyak teman.”
”Apa
lagi?”
“Kamu
tidak mungkin menghindar.”
”Kamu
mau memeras saya? Jangan anggap saya bodoh. Jangan anggap saya lembek.”
”Kamu
yakin?”
”Mengapa
tidak?”
”Karena
kamu punya banyak teman?”
”Itu
soal kedua. Soal pertama, saya pandai.”
”Sekarang
saya tidak bodoh.”
”Tapi
kamu tidak punya banyak teman.”
”Saya
tidak perlu banyak teman.”
”Maksud
kamu?”
”Satu
teman cukup.”
”Maksud
kamu?”
”Tuhan,”
kata Lukito, “Tuhan teman saya.”
Beberapa
orang naik ke lantai atas, diantarkan oleh seorang pelayan perempuan. Di luar
sana tampak orang-orang berdatangan, masuk ke beberapa rumah makan. Beberapa di
antara mereka tidak mau masuk, tapi duduk di pelataran. Dan di panggung tidak
jauh dari kedai roti bakar Eropa, beberapa orang mempersiapkan parade foto-foto
model dari berbagai kawasan.
0 comments:
Post a Comment