Oleh: Andreas
Rossi Dewantara
Dua
tahun setelah ia mengangkat kisah hidup KH Hasyim Ashari, Rako Prijanto
mengalihkan pandangannya ke Sumatera Utara. Tepatnya di Tanah Karo. Di sana,
ada perempuan bernama Likas Tarigan, istri Letjen Djamin Gintings. Dibanding KH
Hasyim Asyari, nama Letjen Djamin Gintings mungkin belum begitu dikenal luas
masyarakat Indonesia. Bagaimana membikin sebuah film tentang isteri seorang
pahlawan nasional yang tak begitu luas dikenal, tanpa tokoh utamanya menjadi
bayang-bayang sang suami? Inilah tantangan yang semestinya dijawab oleh Rako
Prijanto.
Film 3
Nafas Likas dibuka dengan Hilda (Marissa Anita) berkendara dalam sebuah
jip yang menyusuri sebuah perkebunan. Hilda pergi ke perkebunan itu untuk
menemui Likas Tarigan (Tutie Kirana) dalam rangka penulisan buku biografi
tentang Likas. Sebagai catatan, buku Perempuan Tegar dari Sibolangit karya
Hilda Unu-Senduk adalah basis film ini.
Film
ini lantas mengajak kita mengikuti perjalanan Likas (sebagaimana dituturkannya
sendiri) bersama ketiga “nafas”-nya: ibu (Jajang C Noer), kakak Njoreh Tarigan
(Ernest Samudra), dan suaminya Djamin Gintings (Vino G Bastian) dalam tiga
potret kehidupannya: kehidupan masa kecilnya di Sibolangit, kehidupannya
setelah lulus sekolah guru menjadi istri seorang pejuang, dan kehidupan masa tuanya
menjadi isteri pejabat pascaproklamasi kemerdekaan sampai sekarang.
Kita
melihat bagaimana Likas menyikapi kodratnya sebagai perempuan, sebagai seorang
istri/ibu, dan juga sebagai seorang pejuang—jika definisi pejuang boleh
diperlebar. Sedari kecil, Likas berani menentang patriarki. Ia tak ingin
mengikuti kodrat perempuan yang di zamannya "diperuntukkan" untuk
membantu suami mengurus keluarga, ternak, dan ladang bahkan hingga larut malam
ketika para suami bersenang-senang minum tuak. Dengan dukungan ayah (Arswendi
Nasution) dan kakaknya, ia ingin bisa mencari uang sendiri dengan menjadi guru,
meskipun ibunya menentangnya.
Keinginannya
mengangkat martabat perempuan bahkan masih terbawa sampai ia lulus kelak dari
sekolah guru, saat ia berpidato dengan berapi-api di pertemuan pemuda Karo.
Dengan lantang ia menyuarakan agar perempuan berani menuntut hak-haknya.
Pertemuan pun geger, namun ia tak gentar. Dalam pelarian, ia pun pernah
memimpin sekelompok wanita dan anak-anak termasuk ibu mertuanya, untuk mengungsi
ke tempat yang lebih aman. Satu adegan di mana Likas memeluk seorang wanita
yang bayinya meninggal karena kedinginan dalam pelarian adalah salah satu momen
yang paling kuat dan emosional di film ini. Pengayoman seorang pemimpin dan
kelembutan seorang ibu melebur dalam diri Likas pada adegan tersebut.
Melodrama
Namun
di paruh kedua film, sayangnya, tokoh Likas seakan hanya menjadi aksesoris sang
suami, Djamin. Narasi Likas sebagai wanita yang tahan banting dan independen
menjadi pudar oleh “domestikasi” dirinya. Ia direduksi menjadi “hanya” istri
seorang pejabat, pengurus suami sepulang kerja dan anak-anaknya –persis yang
pernah diutarakan ibunya dulu saat menentang dirinya masuk sekolah guru. Film
ini seakan-akan hendak mengawinkan kisah independensi wanita seperti Tjoet Nja'
Dhien-nya Eros Djarot, dengan romantisasi istri-sebagai-penyokong-suami a
laHabibie & Ainun.
Sayangnya,
seperti tren film biopik Indonesia belakangan yang melibatkan sosok wanita (Hijrah
Cinta, Habibie & Ainun), 3 Nafas Likas ikutan terjebak dalam gaya
melodrama domestik. Yang lebih disesalkan, tak seperti Habibie & Ainun atau Hijrah
Cinta di mana tokoh utamanya adalah pria, 3 Nafas Likas sedari
awal hendak menghadirkan wanita sebagai pusat film ini. Apa lacur, eksistensi
tokoh Likas malah bergantung dengan eksistensi si laki-laki. Ia diceraikan dari
pencapaian di luar peran domestiknya.
Mirip
film-film Amerika Serikat pasca-Perang Dunia II tahun 1940-1950-an (misalnya
film-film Douglas Sirk), romantic love dan domestic/familial love menjadi
sesuatu yang dirayakan pada film-film melodrama domestik. Bila film sejarah
(seringkali berlatarbelakang masa perang) selalu menempatkan figur protagonis
laki-laki sebagai manusia yang sedang menjalankan petualangan atau
kepahlawanannya, maka film-film seperti ini menempatkan wanita sebagai tokoh
utama yang berada dalam keadaan ditinggalkan. Kerapuhan wanita menjadi pusat
emosional untuk membikin penonton terharu, dan sebisa mungkin keluar dari
bioskop dengan mata sembab.
Selalu
ada komponen ekses dan ketidakcukupan dalam struktur penceritaan wanita dalam
film melodrama. Di satu sisi, wanita menjadi independen dan otonom seperti
laki-laki, yang akhirnya membawa konflik karena ia harus melawan keluarganya
demi pekerjaan. Di ujung spektrum yang lain, sang wanita memeluk konsep
konvensional dari “wanita feminin”sampai pada taraf—meminjam kata-kata Lesley
Johnson dan Justine Lloyd, dua profesor penulis buku tentang feminisme dan ibu
rumah tangga—living her life through others, dalam hal ini adalah lewat
kehidupan sang kekasih/suami atau keluarganya.
Ketakutan
Likas berpisah dengan sang suami yang digambarkan berulang-ulang mulai dari
suaminya saat masih menjadi pemimpin gerilyawan, sampai saat suaminya sudah
menjadi pejabat tinggi mengkonfirmasi sentimen seperti ini. Seperti Kartini
pada bagian akhir hidupnya, semangat kepemimpinan, progresivisme, dan
kesetaraan di awal-awal kehidupan Likas mulai mengendur pada bagian kedua film
ini.
Hal
ini bukannya tak bisa diakali. Ada perjalanan usaha dan karir Likas yang tak
difilmkan. Masih belum jelas juga mengapa Rako Prijanto lebih memilih utnuk
memfilmkan adegan di mana Likas dilatih etiket a la sekolah
kepribadian oleh Ny. Oey (Olga Lydia), daripada misalnya kisah hidup Likas
ketika ia menjadi pemilik supplier ayam potong di Bintaro (seperti
yang saya baca dari kesaksian beliau di laman Gereja Batak Karo Protestan),
atau saat ia menjabat sebagai anggota MPR. Bukankah lebih menarik melihat
bagaimana Likas bisa mendirikan PT. Amal Tani, sebuah perkebunan kelapa sawit
yang luas di Sumatera Utara, daripada menyaksikan ia kebingungan menghadapi
gegar budaya karena ia dan suaminya mendadak menjadi borjuis kecil?
Ada
juga dimensi dari seorang Likas sebagai seorang organisator yang begitu teliti
yang alpa dieksplorasi oleh Rako (kecuali dalam satu adegan di awal film dan
satu lagi di kedutaan besar RI di Kanada. Itu pun hanya disebutkan). Plot di
paruh kedua seakan-akan dibuat untuk mengakomodasi perjalanan karir Letjen
Gintings yang menanjak cepat (atau justru mengakomodasi tampilnya Vino G
Bastian?). Kita dibuat menonton sempalan-sempalan tentang kehidupan Likas yang
tak dikembangkan secara dalam, bak nafas yang tersengal-sengal.
Karena
itu (sayangnya) film ini pada akhirnya hanyalah menjadi sebuah film melodrama
dan bukannya film historis tentang sejarah bangsa atau seorang pahlawan perang,
maka sejarah bangsa Indonesia hanya mampir sebagai backdrop. Tak ada
tautan atau kontekstualisasi yang menunjukkan signifikansi antara sejarah
bangsa ini dengan kehidupan Likas (selain perang membuat hidupnya susah),
maupun antara dirinya dengan sejarah bangsa ini. Sejarah yang tunduk pada
subjektivitas membuat film ini mengalami dislokasi, ia terasing dari latar
belakangnya sendiri, dan akhirnya gagal membuat commentary mengenai
sejarah bangsa Indonesia.
Bahkan
Djiman Gintings, sebuah representasi karakter bangsa Indonesia pra- dan
awal-awal kemerdekaan yang masih kental dengan semangat nasionalisme dan
militerisme pun tak berkomentar apa-apa mengenai rezim-rezim tempat ia mengabdi,
meskipun Orde Lama dan Orde Baru adalah antitesis. Komentarnya hanyalah
sebuah inconvenience: bahwa ia adalah orang militer lapangan, yang
tak cocok menjadi pejabat kantoran seperti duta besar.
Memang,
Rako Prijanto menunjukkan bahwa tak perlu nama besar untuk bisa menyumbangkan
khazanah bagi pengetahuan kita tentang masa lalu bangsa ini yang belum lengkap.
Masih ada Likas-Likas lain di luar sana, masing-masing dengan kisah-kisah
kecilnya tentang sejarah—entah sebagai antek rezim, entah sebagai korban dari
rezim—yang menunggu agar nafasnya terhembus di permukaan. Hanya saja semoga
selanjutnya sejarah tak sekedar menjadi backdrop sebuah drama
keluarga.
0 comments:
Post a Comment