Cerpen Ketut Syahruwardi Abbas (Kompas, 9 November 2014)
”Aku
lelah. Boleh aku tidur?”
Komang
Warsa memegang
tangan
istrinya dengan lembut.
”Tidurlah.
Besok tidak perlu bangun pagi. Tuan dan Nyonya tidak ada.”
Dek
Tini memandang wajah suaminya. Ia terpaksa memutar kepala dan harus menahan
rasa nyeri di tulang belakang lehernya.
”Hati-hati
lehermu sakit lagi,” kata Komang Warsa setelah tahu istrinya memutar kepala
untuk memandanginya. ”Tidur sajalah. Mudah-mudahan besok lehermu bisa sembuh.”
Suami
istri itu masih berpegangan tangan ketika mereka saling pandang. Seharian
mereka bekerja membereskan apa saja di vila milik warga negara Belanda yang
beristrikan perempuan Jakarta. Keduanya mendapatkan satu kamar di bagian
belakang vila dengan satu tempat tidur, satu lemari, dan satu meja rias
sederhana.
”Aku
rindu pada anak-anak,” kata Dek Tini lirih. ”Berhari-hari telepon dan SMS tidak
dijawab. Aku ingin Galungan nanti kita berkumpul.”
”Sudahlah.
Mereka pasti baik-baik saja. Mungkin terlalu sibuk. Maklumlah, kerja menjadi
polisi di tempat jauh.” Komang Warsa tidak mampu melanjutkan kata-katanya
ketika melihat istrinya menitikkan air mata.
Hening.
”Tidur,
yuk....”
Mereka
masih berpegangan tangan ketika mencoba memejamkan mata.
”Tidak
bisa tidur. Aku rindu anak-anak. Aku ingin Galungan nanti mereka pulang.” Dek
Tini bangkit dan duduk di sisi pembaringan. ”Tapi, kalaupun pulang, mereka
pulang ke mana?” kata perempuan itu sambil tetap membelakangi suaminya yang berbaring
sambil tengadah. ”Kita tidak lagi punya rumah.” Kata-kata yang keluar dari
mulut perempuan yang tampak jauh lebih tua dari umurnya yang kini menginjak 52
tahun itu terdengar sayup, lamat-lamat, dan putus-putus.
”Sudahlah.
Tidurlah. Nanti kita bangun gubuk kecil di Tabanan. Ah, sudah lama kita tidak
menjenguk ladang kita itu. Lumayan, lho. Di sini kita menjual sepetak sawah
dengan satu rumah, kita bisa membeli ladang cukup lebar. Kita juga bisa....”
”Tapi
sekarang kita tidak punya rumah. Kalau Putu dan Made pulang, mereka pulang ke
mana? Arooohhhh... tidak jelas pula mereka harus membanjar di mana?”
”Janganlah
semua hal dipikirkan sekarang. Tidurlah. Siapa tahu nanti kita bisa minta izin
dan kita bisa nengok tegalan di Tabanan....”
”Aku
rindu pada anak-anak kita.”
”Aku
juga. Tapi ini sudah sangat larut.”
Tini
merebahkan tubuhnya di kasur. Beberapa kali terdengar anjing menggonggong dan
derum kendaraan melintas. Angin lembut memasuki kamar melalui celah-celah
jendela menjadikan malam terasa lebih dingin. Tini memegang tangan suaminya
dengan lembut. Tangan itu kasar dan hangat, khas milik petani. Tangan itulah
yang dulu dikaguminya. Tangan itulah yang dengan perkasa membopongnya di malam
pernikahan mereka.
”Aku
ingat ketika kita menikah dulu. Di sini. Di atas tanah ini. Tanah kita, rumah
kita. Sekarang kita numpang di atas tanah yang dulu menjadi milik kita. Aneh
sekali, ya.” Hening.
”Di
sini pula kita membesarkan Putu dan Made. Ah, anak-anak itu. Sekarang pasti
sedang lelap tidur dengan istri dan suami masing-masing di pulau seberang.
Mungkin mereka lelah setelah seharian bekerja. Putu sibuk berpatroli di
pedalaman, Made sibuk melayani ibu-ibu yang mau melahirkan. Ya, mereka pasti
sangat sibuk di siang hari dan sangat lelah di malam hari sehingga tidak sempat
menghubungi kita.”
Hening
sejenak. Terdengar lolongan anjing, suara mobil berhenti, dan orang bercakap
dalam bahasa Inggris. Sepertinya itu suara penghuni vila sebelah yang baru
pulang entah dari mana.
Kampung
ini, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Badung, Bali, kini berubah menjadi
perkampungan internasional. Ratusan vila milik orang asing memenuhi
perkampungan ini. Mereka membeli tanah penduduk dan menjadikannya
bangunan-bangunan megah dengan pagar tinggi. Pada mulanya hanya satu dua vila
didirikan. Kian lama, kian banyak saja tanah persawahan yang dijual dan berubah
menjadi bangunan-bangunan megah milik orang asing. Penduduk di sana sangat
tergiur melihat limpahan uang yang jauh melampaui bayangan mereka. Belakangan,
ketika harga tanah kian melonjak tinggi, para petani pemilik tak mampu lagi
membayar pajak yang kian membebani. Maka kian tinggi pulalah minat masyarakat
menjual tanahnya.
Warsa
pun tak sanggup bertahan. Sepetak sawah beserta gubuk kecil miliknya dijual
dengan harga tinggi. Sebagian uang itu digunakannya untuk membeli beberapa
meter tanah perkebunan di kawasan Tabanan, selebihnya digunakan untuk ”pelicin”
agar Putu, anak pertamanya, diterima di kepolisian dan biaya kuliah anak
keduanya, Made, di akademi kebidanan di Yogyakarta. Tak bersisa. Warsa dan Tini
tak sanggup membangun rumah baru. Mereka mengontrak satu rumah kecil. Dalam
setahun, ia tak sanggup membayar kontrak rumah. Mereka pun tinggal di sebuah
kamar kos.
Pada
saat seperti itulah muncul tawaran untuk bekerja di vila yang berdiri di bekas
tanah miliknya. Di sana Warsa dan istrinya mendapatkan kamar di bagian
belakang. Mereka bertugas membersihkan vila, merawat kebun, dan berbagai
pekerjaan lain. Untuk itu, mereka mendapatkan upah bulanan, tempat tinggal, dan
kebutuhan sehari-hari.
Malam
ini adalah malam kesekian Tini menunggu kabar dari kedua anaknya. Sesekali
mereka menelepon, menanyakan kabar. Tetapi tak pernah lama. Pembicaraan selalu
terputus setelah mereka berbicara beberapa kalimat. Tak sekali pun mereka menyinggung
keinginan untuk pulang.
”Aku
kangen pada mereka. Ingin mereka ada di sini bersama kita. Tapi, aroooooohhhhh,
di mana mereka harus tidur? Sangat aneh kalau mereka pulang, tetapi harus
menginap di hotel.” Tini kembali berkata-kata dengan suara lemah diselingi isak
tertahan.
”Nanti
kita buat rumah yang besar di Tabanan,” hibur Warsa. ”Kita bikin kamar-kamar
yang besar untuk kedua anak kita. Di depan rumah kita buat halaman yang luas
agar cucu kita bisa berlarian sekehendak hati mereka.”
Hening.
Komang Warsa tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Karena itu, kata-kata yang
keluar dari mulutnya terasa datar dan hambar.
”Jangan
mimpi,” sahut istrinya. ”Sangat mungkin mereka enggan pulang karena sudah tahu
tidak lagi punya banjar. Tidak lagi punya sanggah. Apa gunanya pulang kalau
tidak bisa maturan, mebakti pada leluhur. Untuk apa pulang kalau tidak tahu
harus pulang ke mana....”
Hingga
malam tergelincir ke pagi, kedua suami-istri ini tak juga berhasil memejamkan
mata. Pikiran mereka berkelana ke mana-mana, terutama ke masa lalu, ke masa
ketika anak-anak masih kecil, ketika mereka menggarap sawah sempit di belakang
gubuk yang mereka huni. Dulu mereka memupuk harapan kelak anak-anak itu menjadi
petani hebat, memiliki sawah luas dan perkebunan berhektar-hektar. Mereka tak
pernah jemu menyaksikan Putu dan Made berlarian, bertelanjang, tubuh penuh
lumpur. Mereka selalu tertawa menyaksikan Made tersaruk-saruk di sawah basah,
sesekali terjatuh, dan bangun dengan susah payah. Tak pernah mereka
membayangkan tanah yang membahagiakan itu akan berubah menjadi vila megah milik
lelaki berkulit putih dengan bulu di sekujur tubuh. Mereka tidak pernah
membayangkan, sanggah tempat biasa bertutur sapa dengan para leluhur kini
berubah menjadi kolam renang.
Ingat
itu semua, Komang Warsa mengeluh. Ternyata ia hanyalah lelaki yang lemah. Ia
merasa tak sanggup mempertahankan tanah yang diwariskan oleh ayahnya, oleh
kakeknya, oleh para leluhur.
”Sudah
lewat. Sudah telanjur. Apa lagi yang bisa dilakukan selain berharap nanti kita
bisa membangun yang lebih besar di tegalan kita di Tabanan,” kata Warsa, lebih
kepada diri sendiri. ”Mungkin kalau tanah ini tidak kita jual, kita tidak akan
mampu menyekolahkan anak-anak, mungkin Putu tidak menjadi polisi, mungkin hanya
akan menjadi pemabuk di sini karena tanah kita tidak bisa ditanami padi lagi.
Sudah tidak ada saluran air. Subak tidak berfungsi. Kita pun tak sanggup
membayar pajak. Sudahlah, sudahlah, mungkin memang harus begini. Mungkin karma
kita memang harus begini.”
Dingin
kian menggigilkan. Warsa memeluk istrinya. Keharuan sangat kuat menguasai kamar
mereka. Warsa menyeka air di ujung mata istrinya. Kembali terdengar anjing
menyalak mengikuti suara sepeda motor melintas di depan vila. Tak lama kemudian
Komang Warsa tak ingat apa-apa lagi. Ia tertidur dengan posisi memeluk Tini.
Perempuan itu tetap tak bisa memejamkan mata. Tetap menatap nanar ke arah
langit-langit putih kamarnya. Pikirannya berputar-putar, kepalanya terasa
sangat pening, dan beberapa butir air mata menggelinding jatuh ke bantal. Kini
ia hanya diam. Sekuat tenaga ia menahan agar tak sesenggukan. Takut suaminya
terbangun. Ia tahu suaminya pun sangat sedih. Sangat pedih. Sangat kecewa
dengan perjalanan hidup yang mereka lalui. Berkali-kali suaminya itu
mengeluhkan kelemahannya sebagai lelaki dan sebagai suami yang menyeret Dek
Tini ke ruang sempit di belakang vila ini, bekerja sebagai jongos di vila yang
dibangun di bekas tanah milik mereka.
Tini
sangat mencintai suaminya. Tini tidak mau suaminya merasa tidak berguna. Maka
ia tak ingin Warsa terbangun dan kembali menyadari posisinya. Sakit di leher ia
tahan sekuat tenaga.
Hingga
pagi tiba.
Ketika
matahari memancarkan cahayanya di balik atap vila-vila yang berjajar sepanjang
jalan kampung, Komang Warsa terjaga. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur.
Dilihatnya Dek Tini tertidur. Sisa air mata masih terlihat di sudut mata yang
terpejam. Beberapa kali ia lihat istrinya itu mengeluh dalam tidur dan
menyebut-nyebut nama kedua anaknya. Warsa tak kuasa menahan haru. Ia segera
keluar kamar, mencuci muka, pergi ke kolam renang dan membersihkan guguran
daun-daun yang mengambang di atas air.
Kali
ini ia tidak sepenuhnya berkonsentrasi. Pikirannya menerawang pada istrinya,
pada kedua anaknya, juga kepada sanggah yang telah berganti kolam renang.
Komang Warsa tidak bisa menampik kebenaran kata-kata istrinya. Rumah tidak ada.
Sanggah tidak ada. Banjar pun tak jelas pula, karena kampung ini telah berubah
total. Tak ada lagi warga asli yang menjadi warga banjar. Semuanya telah
menjual sawah dan rumah mereka dan kini berpencaran entah di mana. Maka
terbayanglah masa akhir hidupnya: ”Kelak kalau mati siapa yang akan ngabenkan
jasadku, jasad istriku, dan anak-anakku?”
Komang
Warsa lahir dan besar di kampung ini. Istrinya pun lahir di sini. Keluarga mereka
semuanya lahir di sini. Nenek moyang mereka pun lahir di sini. Karena itu,
hanya di sini mereka mebanjar. Tidak di tempat lain. Lalu, jika banjar itu
bubar, banjar mana lagi yang bisa mereka datangi agar kelak ada orang yang
mengurus jasad mereka.
Komang
Warsa memandang nanar pojokan kolam. Di sanalah sanggah mereka berdiri. Dulu.
Di sanalah ia dan istrinya menghaturkan sesembahan kepada para leluhur. Di
sanalah ia merasa bisa bertemu dengan para leluhur dan meminta agar mereka
senantiasa melindungi keluarganya, senantiasa memberi petunjuk kebenaran dan
jalan kehidupan. Kini sanggah itu telah lenyap. Ia merasa tak menemukan tempat
untuk bisa berkomunikasi dengan para leluhur. Ada kekosongan besar dalam
dadanya, dalam hatinya, dalam pikirannya.
Ketika
kekosongan itu kian melimbungkan, Warsa dikejutkan suara istrinya yang
terdengar letih.
”Aku
mau maturan. Bisa tolong belikan canang?”
”Kenapa
harus beli canang. Mari aku petikkan beberapa bunga yang ada di sini.
Bersembahyanglah dengan itu,” jawab Warsa sambil berdiri dan memetik beberapa
jenis bunga di kebun halaman vila. Mereka meletakkan bunga-bunga itu di atas
daun pisang yang dibentuk seperti piring. Dengan sarana sederhana itu Dek Tini
bersembahyang di pinggir kolam, persis di lokasi sanggah mereka dulu.
Dengan
khusyuk perempuan berkulit coklat itu mencakupkan tangan dengan satu kelopak
bunga di ujung jari. Tangan itu diangkat hingga ke atas kepala diiringi
ucapan-ucapan yang tak jelas. Lama sekali Dek Tini melakukan persembahyangan
itu. Terlalu lama untuk ukuran biasa. Terlalu lama untuk ukuran Komang Warsa.
Lelaki itu pun cemas. Ia segera mendekati istrinya. Tapi belum sampai di tempat
istrinya sembahyang, ia lihat Dek Tini limbung dan jatuh.
Komang
Warsa panik. Ia mengangkat tubuh istrinya. Berlari keluar vila. Berteriak minta
tolong. Orang-orang berlarian mengerumuni. Warsa bingung karena hampir semua
orang yang mengerubutinya berkulit putih dan bertanya-tanya dalam bahasa asing.
Banjar:
komunitas warga setingkat RW
Sanggah:
tempat suci keluarga
Maturan:
menghaturkan sesaji
Mebakti:
bersembahyang
Canang: sesaji dari janur/daun dan bunga
0 comments:
Post a Comment