get this widget here

Tuesday, 30 December 2014

Kucing Kehujanan

Cerpen Ernest Hemingway

Sepasang suami‑istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang‑orang yang lalu‑lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulang‑pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang. Ada pohon palm besar‑besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warna‑warna cerah dari hotel‑hotel yang menghadap ke taman‑taman dan laut.
Di depan monumen perang tampak iring‑iringan wisata­wan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohon‑pohon palm tadi. Air berkumpul memben­tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulung‑gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.
Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapat‑rapat agar tidak ketetesan air.
“Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar si istri.
“Biar aku yang melakukannya untukmu,” kata  suaminya  dari tempat tidur.
“Tidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.”
Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.
“Jangan berbasah‑basah,” ia memperingatkan.
Si istri turun ke bawah dan si pemilik hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi mele­wati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang laki‑laki tua dan sangat tinggi.
“Il piove,” ujar si istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.
“Si, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.”
Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesi­nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besar‑besar.
Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si  istri membuka pintu dan menengok ke­luar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang laki‑laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atap‑atap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.
“Anda jangan berbasah‑basah,” wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.
Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tiba‑tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.
“Ha perduto qualque cosa, Signora?”
“Tadi ada seekor kucing,” jawab si istri.
“Seekor kucing?”
“Si, il gatto.”
“Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah guyuran hujan?”
“Ya,” jawabnya, “di bawah meja itu”. Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.”
Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang.
“Mari, signora,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.”
“Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu.
Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuat­nya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolah‑olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.
“Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku.
“Ia lenyap.”
“Kira‑kira tahu kemana perginya?” tanya si suami sambil memejamkan mata.
Si istri duduk di atas ranjang.
“Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.”
George meneruskan membaca.
Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.
“Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan pan­jang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.
George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti laki‑laki.
“Aku suka seperti itu.”
“Aku sudah bosan begini,” kata si istri. “Aku  bosan kelihatan seperti laki‑laki.”
George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.
“Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan  cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.
“Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.”
“Yeah?” komentar George dari ranjangnya.
“Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilin‑lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin baju‑baju baru.”
“Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.
Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohon‑pohon palm masih jatuh tete­san‑tetesan air.
“Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya, “aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang pan­jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.”
George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.
Seseorang mengetuk pintu.
“Avanti,” kata George. Ia mendongak.
Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit  kura‑kura darat dan menyerahkannya ke depan.
“Permisi,” sapanya, “pemilik hotel ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.”

ERNEST HEMINGWAY lahir di Illionis pada tahun 1898. Semula ia menjadi sukarelawan sopir ambulans pada masa Perang Dunia I. Sebagai seorang perantauan di Paris, ia meraih sukses pertama kali dengan ceritanya In Our Time. Di antara novel‑novelnya adalah The Sun Also Rises dan A Farewell to Arms. Di akhir hayatnya ia melakukan bunuh diri pada tahun 1961. Judul asli cerita ini Cat In The Rain, diambil dari buku Ernest Hemingway Short Stories hal 265‑268.


0 comments:

Post a Comment