Cerpen
Budi Darma (Kompas, 26 Februari 2012)
SETIAP kali
akan sembahyang, sebelum sempat menggelar sajadah untuk sembahyang, Karmain
selalu ditarik oleh kekuatan luar biasa besar untuk mendekati jendela, membuka
sedikit kordennya, dan mengintip ke bawah, ke jalan besar, dari apartemennya di
lantai sembilan, untuk menyaksikan laki-laki pemanggul goni menembakkan matanya
ke arah matanya.
Tidak
tergantung apakah fajar, tengah hari, sore, senja, malam, ataupun selepas
tengah malam, mata laki-laki pemanggul goni selalu menyala-nyala bagaikan mata
kucing di malam hari, dan selalu memancarkan hasrat besar untuk menghancurkan.
Tubuh
laki-laki pemanggul goni tidak besar, tidak juga kecil, dan tidak tinggi namun
juga tidak pendek, sementara goni yang dipanggulnya selamanya tampak berat,
entah apa isinya. Pada waktu sepi, laki-laki pemanggul goni pasti berdiri di
tengah jalan, dan pada waktu jalan ramai, pasti laki-laki pemanggul goni
berdiri di trotoir, tidak jauh dari semak-semak, yang kalau sepi dan angin
sedang kencang selalu mengeluarkan bunyi-bunyian yang sangat menyayat hati.
Beberapa
kali terjadi, ketika jalan sedang ramai dan laki-laki pemanggul goni
menembakkan mata kepadanya, Karmain dengan tergesa-gesa turun, lalu mendekati
semak-semak dekat trotoir, tetapi laki-laki pemanggul goni pasti sudah tidak
ada lagi. Dan ketika Karmain bertanya kepada beberapa orang apakah mereka tadi
melihat ada seorang laki-laki pemanggul goni, mereka menggeleng.
Apabila
hari masih terang, beberapa kali laki-laki pemanggul goni membaur dengan
orang-orang yang sedang menunggu bus, sambil menembakkan matanya ke arah
Karmain. Tapi, ketika Karmain tiba di tempat orang-orang yang menunggu bus,
laki-laki pemanggul goni sudah tidak ada, dan orang-orang pasti menggelengkan
kepala apabila mereka ditanya apakah tadi mereka menyaksikan ada laki-laki
pemanggul goni.
Pada
suatu hari, ketika hari sudah melewati tengah malam dan Karmain sudah bangun
lalu membersihkan tubuh untuk sembahyang, korden jendela seolah-olah terkena
angin dan menyingkap dengan sendirinya. Maka Karmain pun bergegas mendekati
jendela, dan menyaksikan di bawah sana, di tengah-tengah jalan besar, laki-laki
pemanggul goni berdiri membungkuk mungkin karena goninya terlalu berat, sambil
menembakkan matanya ke arah dirinya. Kendati lampu jalan tidak begitu terang,
tampak dengan jelas wajah laki-laki pemanggul goni menyiratkan rasa amarah, dan
menantang Karmain untuk turun ke bawah.
Karena
sudah terbiasa menyaksikan laki-laki pemanggul goni bertingkah, dengan lembut
Karmain berkata: “Wahai, laki-laki pemanggul goni, mengapakah kau tidak naik
saja, dan ikut bersembahyang bersama saya.” Kendati jarak antara jendela di
lantai sembilan dan jalan besar di bawah sana cukup jauh, tampak laki-laki
pemanggul goni mendengar ajakan lembut Karmain. Wajah laki-laki pemanggul goni
tampak berkerut-kerut marah, dan matanya makin tajam, makin menyala, dan makin
mengancam.
“Baiklah,
laki-laki pemanggul goni, kalau kau tak sudi naik dan sembahyang bersama saya,
tunggulah saya di bawah. Saya akan sembahyang dulu. Sejak saya masih kecil
sampai dengan saatnya ibu saya akan meninggal, ibu saya selalu mengingatkan
saya untuk sembahyang dengan teratur lima kali sehari. Fajar sembahyang satu
kali. Itulah sembahyang subuh. Tengah hari sembahyang satu kali. Itulah
sembahyang lohor. Sore satu kali, itulah sembahyang ashar. Senja satu kali.
Itulah sembahyang maghrib. Malam satu kali. Itulah sembahyang isya. Lima kali
sehari. Dan kalau perlu, enam kali sehari, tambahan sekali setelah saya bangun
lewat tengah malam dan akan tidur lagi. Itulah sembahyang tahajud. Dan kamu
selalu mengawasi saya, seolah-olah kamu tidak tahu apa yang patut aku lakukan dan
apa yang tidak patut aku lakukan.”
Dengan
tenang Karmain menutup korden, namun karena sekonyong-konyong angin bertiup
keras, korden menyingkap kembali. Laki-laki pemanggul goni tetap berdiri di
tengah jalan, tetap menampakkan wajah penuh kerut menandakan kemarahan besar,
dan tetap menembakkan matanya dengan nyala mengancam. Di sebelah sana, dekat
trotoir di sebelah sana, semak-semak bergoyang-goyang keras tertimpa angin, dan
mengirimkan bunyi-bunyi yang benar-benar menyayat hati.
Karmain
melayangkan pandangannya ke depan, ke gugusan apartemen-apartemen besar, dan
tampaklah semua lampu di apartemen sudah padam, sejak beberapa jam yang lalu.
Lampu yang masih menyala hanyalah lampu-lampu di gang-gang yang menghubungkan
apartemen-apartemen itu, sementara lampu merah di tiang tinggi di sebelah sana
itu, berkedip-kedip seperti biasa, seperti biasa menjelang hari menjadi gelap,
atau mendung, atau hujan lebat.
Seperti
biasa pula, lampu di tempat pemberhentian bus menyala, sebetulnya terang,
tetapi tampak redup. Selebihnya sepi, kecuali angin yang tetap menderu-deru.
Karmain pindah ke kamar lain, yang korden jendelanya ternyata juga terbuka,
kemudian melihat jauh ke sana. Di sana itu, ada laut, dan meskipun gelap,
terasa benar bahwa laut benar-benar sedang gelisah.
Sembahyang
selesailah, lalu Karmain mendekati jendela, dan laki-laki pemanggul goni masih
di sana, masih menunjukkan wajah marah, masih menembakkan pandangan mengancam.
Maka Karmain turunlah. Dan ketika Karmain tiba di tepi jalan, laki-laki
pemanggul goni tidak ada. Angin masih bertiup keras. Seekor anjing hitam, besar
dan tinggi tubuhnya, mengawasi Karmain sekejap, kemudian menyeberang jalan, dan
di tengah jalan berhenti lagi sebentar, mengawasi Karmain lagi, lalu lari ke
arah kegelapan. Lalu terdengar lolongan-lolongan anjing, lolongan kesakitan,
lolongan pada saat-saat meregang nyawa.
Dulu,
ketika masih kecil, Karmain bersahabat karib dengan Ahmadi, Koiri, dan Abdul
Gani, semuanya dari kampung Burikan. Dan di kampung Burikan tidak ada satu
orang pun yang memelihara anjing, dan anjing dari kampung-kampung lain pun
tidak pernah berkeliaran di kampung Burikan. Terceritalah, ketika mereka sedang
berjalan-jalan di kampung Barongan, mereka tertarik untuk mencuri buah mangga
di pekarangan rumah seseorang yang terkenal karena anjingnya sangat galak.
Belum sempat mereka memanjat pohon mangga, dengan sangat mendadak ada seekor
anjing hitam, tinggi dan besar tubuhnya, menyalak-nyalak ganas, kemudian
mengejar mereka.
Sebulan
kemudian, anjing hitam bertubuh tinggi dan besar mati, setelah terperangkap
oleh racun hasil ramuan Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani.
Karmain
menunggu beberapa saat, sambil berkata lembut dan perlahan-lahan: “Wahai,
laki-laki pemanggul goni, di manakah kau sekarang. Marilah kita bertemu, dan
berbicara.”
Karena
tidak ada kejadian apa-apa lagi, Karmain berjalan menuju semak-semak, dan,
meskipun tiupan angin sudah meredup, semak-semak masih bergerak-gerak,
menciptakan bunyi-bunyi yang menyayat hati.
Karmain
kembali ke lantai sembilan, masuk ke dalam apartemen, kemudian mencari
berkas-berkas lama yang sudah lama tidak ditengoknya. Setelah membuka-buka sana
dan sini, Karmain menemukan album lama. Ada foto ibunya ketika masih muda,
seorang janda yang ditinggal oleh suaminya karena pada hari raya Idul Adha, suaminya
tertembak ketika sedang berburu babi hutan bersama teman-temannya di hutan
Medaeng. Ada lima pemburu, termasuk dia, ayah Karmain. Mereka berlima masuk
hutan bersama-sama, kemudian melihat seekor babi hutan berlari kencang,
menabrak beberapa semak-semak. Untuk mengejar babi hutan itu, mereka berpisah,
masing-masing lari ke berbagai arah. Siapa di antara empat temannya yang dengan
tidak sengaja menembak ayah Karmain, atau justru dengan sengaja menembaknya,
tidak ada yang tahu.
Karmain
terpaku pada foto ibunya sampai lama, kemudian, tanpa sadar, dia terisak-isak.
Dulu ibunya pernah bercerita, bahwa pada waktu-waktu tertentu akan ada
laki-laki pemanggul goni, mengunjungi orang-orang berdosa. Pekerjaan laki-laki
pemanggul goni adalah mencabut nyawa, kemudian memasukkan nyawa korbannya ke
dalam goni. Ibunya juga bercerita, beberapa hari sebelum suaminya tertembak,
pada tengah malam laki-laki pemanggul goni datang, mengetuk-ngetuk pintu,
kemudian pergi tanpa meninggalkan jejak.
“Pada
hari Idul Adha,” kata ibu Karmain dahulu, sebelum ayahnya pergi berburu. “Tuhan
menguji kesetiaan Nabi Ibrahim. Anaknya, Ismail, harus disembelih oleh ayahnya,
oleh Nabi Ibrahim sendiri.”
Karmain
tertidur, dan ketika terbangun, waktu sembahyang fajar sudah tiba. Dan setelah
Karmain membersihkan tubuh, siap untuk sembahyang, korden jendela menyingkap
lagi. Laki-laki pemanggul goni berdiri di tengah jalan lagi, wajahnya
menunjukkan kemarahan lagi, dan matanya menyala-nyala, menantang lagi.
“Baiklah,
laki-laki pemanggul goni, harap kamu jangan lari lagi.”
Dengan
sangat tergesa-gesa Karmain turun, langsung ke pinggir jalan, dan laki-laki
pemanggul goni sudah tidak ada.
Ketika
Karmain tiba kembali di apartemennya, ternyata laki-laki pemanggul goni sudah
ada di dalam, duduk di atas sajadah, melantunkan ayat-ayat suci, sementara
goninya terletak di sampingnya.
Setelah
selesai berdoa, tanpa memandang Karmain, laki-laki pemanggul goni berkata
lembut: “Karmain, kamu sekarang sudah menjadi orang penting. Kamu sudah
menjelajahi dunia, dan akhirnya kamu di sini, di negara yang terkenal makmur.
Bahwa kamu tidak mau kembali ke tanah airmu, bukan masalah penting. Tapi
mengapa kamu tidak pernah lagi berpikir tentang makam ayahmu? Tidak pernah
berpikir lagi tentang makam ibumu. Makam orangtuamu sudah lama rusak, tidak
terawat, tanahnya tenggelam tergerus oleh banjir setiap kali hujan datang, dan
kamu tidak pernah peduli.”
Laki-laki
pemanggul goni berhenti sebentar, kemudian bertanya:
“Apakah
kamu beserta sahabat-sahabatmu, Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani, pernah tersesat
di hutan Gunung Muria?”
“Ya.”
“Tahukah
kamu ke mana sahabat-sahabatmu itu pergi?”
“Tidak.”
“Mereka
saya ambil. Saya tahu, kalau mereka tidak saya ambil, pada suatu saat kelak
dunia akan gaduh. Gaduh karena, kalau tetap hidup, mereka akan mengacau,
membunuh, dan menyebarkan nafsu besar untuk berbuat dosa. Saya tidak mengambil
kamu karena kasihan. Kamu habis kehilangan ayah. Ayah bejat. Pada saat
seharusnya dia di masjid, bersembahyang, dan kemudian membantu orang-orang
menyembelih kambing, ayahmu berkeliaran di hutan. Bukan untuk menyembelih
kambing, tapi mengejar-ngejar babi hutan untuk dibunuh. Ingatlah, pada hari
Idul Adha, ketika Nabi Ibrahim sedang menyembelih anaknya sendiri, Ismail,
datang keajaiban. Bukan Ismail yang disembelih, tapi kambing.”
Berhenti
sebentar, kemudian laki-laki pemanggul goni bertanya dengan nada menuduh:
“Apakah
benar, ketika kamu masih remaja, kamu menjadi penabuh beduk masjid kampung
Burikan? Setiap saat sembahyang tiba, lima kali sehari, kamu menabuh beduk
mengingatkan semua orang untuk sembahyang?”
Karmain
ingat, ketika masih umurnya memasuki masa remaja, dia bercita-cita, kelak kalau
sudah dewasa, dia akan memiliki gedung bioskop. Maka, dengan caranya sendiri,
dia menciptakan bioskop-bioskopan. Kertas tipis dia gunting, dia bentuk menjadi
orang-orangan. Lalu dengan tekun dia membuat roda kecil dari kayu. Orang-orangan
dari kertas tipis dia ikat pada benang, benang ditempelkan pada roda kayu. Lalu
dia memasang kertas minyak, menutup semua jendela supaya gelap, menyalakan
lilin, menggerak-gerakkan orang-orangan. Dari balik kertas minyak terpantulah
bayangan orang-orangan. Mereka bisa berlari-lari, berkejar-kejaran, dan saling
membunuh, seperti yang terjadi pada tontonan wayang kulit.
Demikianlah,
pada suatu hari, ketika sedang asyik-asyiknya bermain bioskop-bioskopan,
tiba-tiba Karmain ingat, waktu untuk menabuh beduk sudah tiba. Maka berlarilah
dia ke masjid, meninggalkan kertas-kertas tipis berserakan di lantai. Seorang
anak kampung Burikan pula, Amin namanya, telah datang terlebih dahulu, dan
telah menabuh beduk. Setelah selesai sembahyang, Karmain dan beberapa orang pulang.
Dalam perjalanan pulang itulah, mereka melihat asap hitam pekat membubung ke
langit. Udara pun menjadi luar biasa panas.
Hampir
seperempat rumah di kampung Burikan terbakar, dan dua laki-laki lumpuh
meninggal, terjebak oleh kobaran-kobaran api.
“Karmain,”
kata laki-laki pemanggul goni sambil menunduk, ”Janganlah kamu pura-pura tidak
tahu, kamu lari ke masjid, sementara lilin masih menyala.”
Sunyi
senyap, dan laki-laki pemanggul goni tetap tertunduk.
“Wahai,
laki-laki pemanggul goni,” kata Karmain setelah terdiam agak lama. “Ibu saya
dulu pernah berkata, ada laki-laki pemanggul goni yang sebenarnya, ada pula
pemanggul goni yang sebetulnya setan, dan menyamar sebagai laki-laki pemanggul
goni.”
Laki-laki
pemanggul goni tersengat, kemudian memandang tajam ke arah Karmain. Wajahnya
penuh kerut-kerut menandakan rasa amarah yang sangat besar, dan matanya
benar-benar merah, benar-benar ganas, dan benar-benar menantang.
Setelah
membisikkan doa singkat, Karmain berkata lagi: “Bagaimana kamu bisa tahu, wahai
laki-laki pemanggul goni, bahwa kelak Ahmadi, Koiri, dan Abdul Gani akan
menyebarkan dosa yang membuat orang-orang tersesat?”
Laki-laki
pemanggul goni, dengan kerut-kerut wajahnya dan nyala matanya, dengan nada
ganas berkata: “Hanya sayalah yang tahu apa yang akan terjadi seandainya mereka
saya biarkan hidup.”
“Wahai,
laki-laki pemanggul goni, hanya Nabi Kidirlah yang tahu apakah seorang anak
kelak akan menciptakan dosa-dosa besar atau tidak. Apakah kamu tidak ingat,
Nabi Kidir menenggelamkan perahu seorang anak muda yang tampan? Nabi Kidir
tahu, kelak anak tampan ini akan menjadi pengacau dunia. Dan Nabi Kidir pun
mempunyai hak untuk menghancurleburkan sebuah rumah mewah. Sebuah rumah mewah
yang dihuni oleh seorang bayi yang kelak akan membahayakan dunia.”
Dan
Karmain ingat benar, dulu, menjelang kebakaran hebat melanda kampung Burikan,
kata beberapa orang saksi, laki-laki pemanggul goni datang. Lalu, kata beberapa
saksi pula, laki-laki pemanggul goni masuk ke rumah Karmain, kemudian
bergegas-gegas ke luar, dan melemparkan bola-bola api ke rumah Karmain. Dan
setelah api berkobar-kobar ganas menjilati sebagian rumah di kampung Burikan,
beberapa orang dari kampung Burikan dan kampung Barongan sempat melihat,
laki-laki pemanggul goni melarikan diri di antara lidah-lidah api yang makin
membesar. (*)
.
0 comments:
Post a Comment