Cerpen
Budi Darma (Kompas, 20 April 2014)
SEPULUH tahun
yang lalu saya lulus S3 Indiana University, Bloomington, Indiana, Amerika, lalu
lima tahun kemudian saya menerbitkan buku New Paradigm of Psycho-Revenge, dan
selama dua tahun berikutnya saya menerbitkan buku lain yang tidak begitu
penting.
Berkat
buku-buku itu sekarang saya kembali ke Indiana University, dikontrak sebagai
dosen mata kuliah Psikologi Sastra, mulai Januari ini, ketika salju sedang
kencang-kencangnya menghantam seluruh Barat Tengah Amerika, termasuk
Bloomington, Indiana. Kamar kerja saya terletak di Lantai 12, dan dari situ
saya dapat melihat bongkah-bongkah salju meluncur ke sebuah pemakaman tua
berumur lebih dari seratus tahun.
Dulu
saya kadang-kadang ke sana bersama seorang perempuan Columbia, mahasiswa Ilmu
Komunikasi bernama Angela Vicario. Kebetulan di makam itu ada nisan bertuliskan
nama Vicario, meninggal tepat pada tanggal 1 Januari 1900, tanpa penjelasan
umur berapa dan asal usulnya dari mana.
Perkenalan
saya dengan Angela terjadi ketika dia dan saya sama-sama bekerja di cafeteria
Eigenmann Hall, asrama sekian banyak mahasiswa dari lima benua, dan juga
mahasiswa dari berbagai negara bagian Amerika sendiri.
Pada
suatu malam, beberapa saat setelah cafeteria tutup dan kami berjalan bersama
menunggu lift sementara suasana sudah sepi, tiba-tiba Angela menggigil,
kemudian jatuh, menggelepar-gelepar, nafasnya mendengus seperti nafas
penghabisan sapi sehabis disembelih. Mau tidak mau saya harus menolong.
Angela
bercerita, ibunya memperlakukan dia sebagai porselin, harus dijaga sepanjang hari,
karena kalau porselin itu terjamah laki-laki, maka seluruh harkat, derajat, dan
martabat keluarga Vicario akan hancur. Demikianlah, sejak kecil dia dipingit,
dan setiap ada laki-laki lewat, jendela dan pintu rumah harus ditutup rapat.
Terceritalah,
pada suatu hari semua tetangga terperanjat, karena tiba-tiba seorang keturunan
mulato datang, entah dari mana, lalu memperkenalkan diri, namanya Bayardo Sans
Roman, punya peternakan sapi dan beberapa tambang batubara. Jalannya gagah,
potongan tubuhnya mirip gladiator, kata-katanya meyakinkan, dan, katanya, dia
datang sengaja untuk mencari istri. Demikianlah, maka dipinanglah Angela,
dengan janji akan menjadikan Angela bidadari, dipuja dan dipuji setiap hari.
Mau
apa lagi? Ayah Angela buta, ibunya pengangguran, dan dua saudara kembarnya,
laki-laki bernama Pablo dan Pedro Vocario, suka mabuk-mabukan, bekerja sebagai
penyembelih sapi, dan penghasilan mereka tidak sekedar kecil, tapi juga
dihabiskan untuk judi dan minum.
Malam
pertama perkawinan berakhir dengan tanda tanya. Dengan halus Bayardo Sans Roman
berkata: “Malam ini saya harus datang ke rumah orangtua kamu, membawa satu pak
rokok, kulitnya indah dan mengkilap, isinya bukan rokok, tapi puntung. Ada
laki-laki lain yang sudah menghisap rokok, lalu puntungnya dilemparkan kepada
saya.”
Maka,
malam itu juga Bayardo mengantarkan Angela pulang ke rumah ibunya, lalu berkata
sopan: “Terimakasih banyak, Ibunda Angela, ternyata kamu dapat mendidik anak
perempuan kamu dengan sangat sempurna.”
Pablo
dan Pedro amat murka, dan dalam keadaan mabuk bertanya: “Angela, adik tercinta,
siapakah yang telah menodai kamu?”
Dia
bingung, dan tanpa sadar terlontarlah kata-kata: “Santiago. Santiago Nasar.
Laki-laki kaya itu.”
Ibunya
menimpali: “Kehormatan adalah kehormatan.”
Malam
itu juga, menurut kabar angin, Pablo dan Pedro minum-minum di sebuah warung
milik seorang perempuan mulato berjiwa sundal, yang menjual susu dan minuman
keras. Susu, kata perempuan ini, putih tanda suci, dan minuman keras, kata
perempuan ini pula, pertanda bahwa dia tidak mungkin menghancurkan bakat
sundalnya, karena menjadi sundal itu nikmat.
Di
warung itu berkali-kali Pablo dan Pedro mengasah pisau mereka, sambil sesekali
memandang ke tempat jauh, jendela kamar di loteng tempat Santiago tinggal
bersama ibunya, sementara ayahnya sudah lama meninggal. Pablo dan Pedro tahu,
Santiago tinggal di kamar itu, dan begitu waktunya datang, mereka akan
menggorok leher Santiago seperti menggorok sapi.
Keesokan
harinya terdengar kabar, Santiago kehilangan nyawa, disembelih bergantian oleh
Pablo dan Pedro.
Pagi
itu juga, dengan membawa uang dan perhiasan pemberian Bayardo, Angela Vicario
melarikan diri.
Dalam
pelarian dia bergulat melawan bajingan, penjual manusia, biarawan palsu, polisi
berhati anjing, iblis bertopeng manusia, dan semua bernafsu untuk memperkosa.
Mula-mula dia selalu memberontak, tapi akhirnya dia hanya menyerah, karena baik
memberontak maupun menyerah hasilnya sama: dia tetap perawan. Pada saat mereka
hampir berhasil memperkosa, siapa pun laki-laki jahat itu, pasti mendadak
lunglai. Seluruh tulang tubuh mereka seolah-olah kehilangan tulang, dan jadilah
tubuh mereka onggokan daging.
“Burhanto,”
demikianlah kata Angela pada suatu hari, “apakah kamu merasa saya ini makhluk
ajaib?”
“Tanganmu
selalu dingin. Tidak seperti orang lain.”
“Tangan?
Kamu kan belum pernah meraba-raba seluruh tubuh saya. Tangan boleh dingin,
siapa tahu bagian-bagian lain hangat.”
Sejak
saat itu perlahan-lahan saya menjauhinya. Saya keluar dari cafeteria Eigenmann
Hall, pindah ke cafeteria Commons. Tiga hari kemudian, ternyata dia juga
pindah, menyusul saya ke cafeteria Commons, dan jam kerjanya pun sama dengan
jam kerja saya.
Untuk
melepaskan diri tanpa melukai hatinya, pada suatu hari saya bertanya: “Angela,
pernahkah kamu ke makam dekat Ballantine Hall?”
“Kamu
jangan meremehkan saya, Burhanto. Kamu kira saya tidak tahu. Di situ
terbaringlah sebuah mayat. Vicario namanya.”
“Mungkin
ada hubungan darah dengan kamu.”
“Perduli
setan. Di Spanyol jutaan orang bernama Vicario. Di semua negara Amerika Latin
Vicario bukan nama ajaib. Iblis bernama Vicario juga banyak di neraka.”
Tapi
akhirnya Angela mengajak saya ke makam. Setiap kali saya menolak, matanya
berkaca-kaca: “Burhanto, kamu tidak punya hati, ya.” Dan setiap kali saya
mengalah mengantarkan dia, tubuhnya selalu dipepetkan ke tubuh saya. Dingin.
“Burhanto,
kamu tahu saya punya darah pembunuh. Tengok Pablo dan Pedro. Saya punya darah
judi. Tengok pula Pablo dan Pedro. Mereka pewaris tulen darah nenek moyang
Vicario. Semua terbelit judi. Semua jatuh miskin. Darah saya hitam, Burhanto.
Kotor. Darah kamu putih. Kalau saya jadi istri kamu, anak turun kita mewarisi
darah kamu.”
“Angela,
saya harus pergi. Ke perpustakaan. Sekarang juga.”
“Saya
ikut, Burhanto.”
“Maaf,
Angela. Saya tergesa-gesa.”
Saya
menyelinap ke Gedung Frangipani, berjalan melalui sekian banyak lorong di
Gedung Frangipani, sampai akhirnya tiba di bioskop Frangipani. Ada iklan film
Amerika Latin, Chronica de Une Murte Anunciada.
Tiba-tiba
saya merasa ada dengus nafas di belakang saya, dan dengus nafas itu tidak lain
keluar dari mulut dan hidung Angela.
“Film
mengenai pembunuhan,” kata Angela, “Keluarga Vicario membunuh karena dendam.”
Saya
diam, berusaha menghindar.
Dia
melanjutkan: “Ada seorang gadis bernama Angela Vicario. Nama saya. Dipinang
Bayardo Sans Roman. Persis kisah saya. Kata Bayardo, Angela ternyata kotor.
Dikembalikan ke orang tuanya. Saudara kembar Angela, Pablo dan Pedro Vicario
marah, mendesak Angela untuk mengaku siapa yang mengotori dirinya. Angela
merasa dirinya tidak kotor, tanpa sadar berseru: ‘Santiago Nasar.’ Maka
disembelihlah Santiago Nasar oleh Pablo dan Pedro Vocario.”
Saya
meninggalkan dia, tapi dengan sigap dia menangkap tangan saya, menggelandang
saya ke Perpustakaan Lily.
Kami
langsung ke lantai bawah, menuju ke almari kaca, tempat penyimpanan rambut
salah satu istri Hemingway. Hemingway memang terkenal suka memburu perempuan
dan diburu oleh perempuan. Semua perempuan yang diburu diperlakukan sebagai
binatang buruan, dan semua perempuan yang tidak diburu mempersiapkan diri untuk
memburu. Karena itulah, setiap kali dia menullis novel, dia selalu memburu atau
diburu perempuan. Istri baru boleh, pacar baru juga boleh. Rambut di dalam almari
kaca itu tidak lain adalah rambut salah satu istrinya menjelang dia menulis The
Sun Also Rises, novel mengenai generasi yang hilang tergilas oleh Perang Dunia
I.
Angela
menempelkan tubuhnya rapat-rapat ke tubuh saya. Rasanya sangat dingin, dan
karena sangat dingin, saya agak menggigil.
Ketika
malam tiba saya lupa mengunci pintu, lalu tertidur, dan terbangun karena
serangan mimpi buruk. Ternyata bukan mimpi buruk: Dengan nafas mendengus-dengus
Angela menindihi tubuh saya.
“Bangsat!”
teriaknya beberapa saat kemudian. “Ternyata kamu sama. Sama dengan Bayardo Sans
Roman. Sama dengan semua bajingan yang akan memperkosa saya.”
Itulah
pertemuan terakhir saya dengan Angela. Saya pulang ke tanah air. Menurut cerita
teman-teman dari Bloomington, Angela akhirnya bertemu dengan seorang laki-laki
dari Ethiopia, menikah, dan mengikuti suaminya ke Ethiopia.
Itu
dulu. Dan sekarang, ketika saya membuka daftar mahasiswa peserta mata kuliah
saya, muncullah nama Angela Vicario. Dari potretnya saya tahu, dialah Angela
Vicario dulu.
Kuliah
sudah berjalan sebulan, tapi Angela tidak pernah muncul.
Ketika
saya membuka pintu ruang kerja menjelang akhir semester, saya menemukan sebuah
surat dekat lubang bawah pintu.
“Burhanto,
Tony Mbanta, laki-laki Ethiopia itu, sama saja. Gagah. Tapi tidak mampu
menjebol harta karun saya. Perasaan saya sangat tersinggung. Dengan segala
kesabaran, saya maafkan dia.”
“Untuk
menghilangkan rasa malu dia kepada saya, dia melarikan diri ke rapat-rapat
orang-orang komunis. Dia sering diajak ke luar negeri. Ke Cina, ke Tajikistan,
ke Rusia, dan entah ke mana lagi. Dia sesumbar, pada suatu saat nanti dia akan
jadi menteri.”
”Pada
suatu malam apartemen kami digrebeg pasukan Kaisar Haile Selassie. Dia diseret
ke lapangan terbuka, diberondong peluru.”
“Saya
kembali ke Bloomington. Baca buku-buku kamu. Kurang ajar! Kisah hidup saya kamu
gali habis-habisan. Rahasia pribadi dan kesengsaraan saya kamu sajikan kepada
pembaca dunia. Ingat, bukan saya yang membunuh Santiago, tapi karena saya,
Santiago mampus.”
0 comments:
Post a Comment