get this widget here

Tuesday, 30 December 2014

Angela

Cerpen Budi Darma (Kompas, 20 April 2014)

Angela ilustrasi

SEPULUH tahun yang lalu saya lulus S3 Indiana University, Bloomington, Indiana, Amerika, lalu lima tahun kemudian saya menerbitkan buku New Paradigm of Psycho-Revenge, dan selama dua tahun berikutnya saya menerbitkan buku lain yang tidak begitu penting.
Berkat buku-buku itu sekarang saya kembali ke Indiana University, dikontrak sebagai dosen mata kuliah Psikologi Sastra, mulai Januari ini, ketika salju sedang kencang-kencangnya menghantam seluruh Barat Tengah Amerika, termasuk Bloomington, Indiana. Kamar kerja saya terletak di Lantai 12, dan dari situ saya dapat melihat bongkah-bongkah salju meluncur ke sebuah pemakaman tua berumur lebih dari seratus tahun. 
Dulu saya kadang-kadang ke sana bersama seorang perempuan Columbia, mahasiswa Ilmu Komunikasi bernama Angela Vicario. Kebetulan di makam itu ada nisan bertuliskan nama Vicario, meninggal tepat pada tanggal 1 Januari 1900, tanpa penjelasan umur berapa dan asal usulnya dari mana.
Perkenalan saya dengan Angela terjadi ketika dia dan saya sama-sama bekerja di cafeteria Eigenmann Hall, asrama sekian banyak mahasiswa dari lima benua, dan juga mahasiswa dari berbagai negara bagian Amerika sendiri.
Pada suatu malam, beberapa saat setelah cafeteria tutup dan kami berjalan bersama menunggu lift sementara suasana sudah sepi, tiba-tiba Angela menggigil, kemudian jatuh, menggelepar-gelepar, nafasnya mendengus seperti nafas penghabisan sapi sehabis disembelih. Mau tidak mau saya harus menolong.
Angela bercerita, ibunya memperlakukan dia sebagai porselin, harus dijaga sepanjang hari, karena kalau porselin itu terjamah laki-laki, maka seluruh harkat, derajat, dan martabat keluarga Vicario akan hancur. Demikianlah, sejak kecil dia dipingit, dan setiap ada laki-laki lewat, jendela dan pintu rumah harus ditutup rapat.
Terceritalah, pada suatu hari semua tetangga terperanjat, karena tiba-tiba seorang keturunan mulato datang, entah dari mana, lalu memperkenalkan diri, namanya Bayardo Sans Roman, punya peternakan sapi dan beberapa tambang batubara. Jalannya gagah, potongan tubuhnya mirip gladiator, kata-katanya meyakinkan, dan, katanya, dia datang sengaja untuk mencari istri. Demikianlah, maka dipinanglah Angela, dengan janji akan menjadikan Angela bidadari, dipuja dan dipuji setiap hari.
Mau apa lagi? Ayah Angela buta, ibunya pengangguran, dan dua saudara kembarnya, laki-laki bernama Pablo dan Pedro Vocario, suka mabuk-mabukan, bekerja sebagai penyembelih sapi, dan penghasilan mereka tidak sekedar kecil, tapi juga dihabiskan untuk judi dan minum.
Malam pertama perkawinan berakhir dengan tanda tanya. Dengan halus Bayardo Sans Roman berkata: “Malam ini saya harus datang ke rumah orangtua kamu, membawa satu pak rokok, kulitnya indah dan mengkilap, isinya bukan rokok, tapi puntung. Ada laki-laki lain yang sudah menghisap rokok, lalu puntungnya dilemparkan kepada saya.”
Maka, malam itu juga Bayardo mengantarkan Angela pulang ke rumah ibunya, lalu berkata sopan: “Terimakasih banyak, Ibunda Angela, ternyata kamu dapat mendidik anak perempuan kamu dengan sangat sempurna.”
Pablo dan Pedro amat murka, dan dalam keadaan mabuk bertanya: “Angela, adik tercinta, siapakah yang telah menodai kamu?”
Dia bingung, dan tanpa sadar terlontarlah kata-kata: “Santiago. Santiago Nasar. Laki-laki kaya itu.”
Ibunya menimpali: “Kehormatan adalah kehormatan.”
Malam itu juga, menurut kabar angin, Pablo dan Pedro minum-minum di sebuah warung milik seorang perempuan mulato berjiwa sundal, yang menjual susu dan minuman keras. Susu, kata perempuan ini, putih tanda suci, dan minuman keras, kata perempuan ini pula, pertanda bahwa dia tidak mungkin menghancurkan bakat sundalnya, karena menjadi sundal itu nikmat.
Di warung itu berkali-kali Pablo dan Pedro mengasah pisau mereka, sambil sesekali memandang ke tempat jauh, jendela kamar di loteng tempat Santiago tinggal bersama ibunya, sementara ayahnya sudah lama meninggal. Pablo dan Pedro tahu, Santiago tinggal di kamar itu, dan begitu waktunya datang, mereka akan menggorok leher Santiago seperti menggorok sapi.
Keesokan harinya terdengar kabar, Santiago kehilangan nyawa, disembelih bergantian oleh Pablo dan Pedro.
Pagi itu juga, dengan membawa uang dan perhiasan pemberian Bayardo, Angela Vicario melarikan diri.
Dalam pelarian dia bergulat melawan bajingan, penjual manusia, biarawan palsu, polisi berhati anjing, iblis bertopeng manusia, dan semua bernafsu untuk memperkosa. Mula-mula dia selalu memberontak, tapi akhirnya dia hanya menyerah, karena baik memberontak maupun menyerah hasilnya sama: dia tetap perawan. Pada saat mereka hampir berhasil memperkosa, siapa pun laki-laki jahat itu, pasti mendadak lunglai. Seluruh tulang tubuh mereka seolah-olah kehilangan tulang, dan jadilah tubuh mereka onggokan daging.
“Burhanto,” demikianlah kata Angela pada suatu hari, “apakah kamu merasa saya ini makhluk ajaib?”
“Tanganmu selalu dingin. Tidak seperti orang lain.”
“Tangan? Kamu kan belum pernah meraba-raba seluruh tubuh saya. Tangan boleh dingin, siapa tahu bagian-bagian lain hangat.”
Sejak saat itu perlahan-lahan saya menjauhinya. Saya keluar dari cafeteria Eigenmann Hall, pindah ke cafeteria Commons. Tiga hari kemudian, ternyata dia juga pindah, menyusul saya ke cafeteria Commons, dan jam kerjanya pun sama dengan jam kerja saya.
Untuk melepaskan diri tanpa melukai hatinya, pada suatu hari saya bertanya: “Angela, pernahkah kamu ke makam dekat Ballantine Hall?”
“Kamu jangan meremehkan saya, Burhanto. Kamu kira saya tidak tahu. Di situ terbaringlah sebuah mayat. Vicario namanya.”
“Mungkin ada hubungan darah dengan kamu.”
“Perduli setan. Di Spanyol jutaan orang bernama Vicario. Di semua negara Amerika Latin Vicario bukan nama ajaib. Iblis bernama Vicario juga banyak di neraka.”
Tapi akhirnya Angela mengajak saya ke makam. Setiap kali saya menolak, matanya berkaca-kaca: “Burhanto, kamu tidak punya hati, ya.” Dan setiap kali saya mengalah mengantarkan dia, tubuhnya selalu dipepetkan ke tubuh saya. Dingin.
“Burhanto, kamu tahu saya punya darah pembunuh. Tengok Pablo dan Pedro. Saya punya darah judi. Tengok pula Pablo dan Pedro. Mereka pewaris tulen darah nenek moyang Vicario. Semua terbelit judi. Semua jatuh miskin. Darah saya hitam, Burhanto. Kotor. Darah kamu putih. Kalau saya jadi istri kamu, anak turun kita mewarisi darah kamu.”
“Angela, saya harus pergi. Ke perpustakaan. Sekarang juga.”
“Saya ikut, Burhanto.”
“Maaf, Angela. Saya tergesa-gesa.”
Saya menyelinap ke Gedung Frangipani, berjalan melalui sekian banyak lorong di Gedung Frangipani, sampai akhirnya tiba di bioskop Frangipani. Ada iklan film Amerika Latin, Chronica de Une Murte Anunciada.
Tiba-tiba saya merasa ada dengus nafas di belakang saya, dan dengus nafas itu tidak lain keluar dari mulut dan hidung Angela.
“Film mengenai pembunuhan,” kata Angela, “Keluarga Vicario membunuh karena dendam.”
Saya diam, berusaha menghindar.
Dia melanjutkan: “Ada seorang gadis bernama Angela Vicario. Nama saya. Dipinang Bayardo Sans Roman. Persis kisah saya. Kata Bayardo, Angela ternyata kotor. Dikembalikan ke orang tuanya. Saudara kembar Angela, Pablo dan Pedro Vicario marah, mendesak Angela untuk mengaku siapa yang mengotori dirinya. Angela merasa dirinya tidak kotor, tanpa sadar berseru: ‘Santiago Nasar.’ Maka disembelihlah Santiago Nasar oleh Pablo dan Pedro Vocario.”
Saya meninggalkan dia, tapi dengan sigap dia menangkap tangan saya, menggelandang saya ke Perpustakaan Lily.
Kami langsung ke lantai bawah, menuju ke almari kaca, tempat penyimpanan rambut salah satu istri Hemingway. Hemingway memang terkenal suka memburu perempuan dan diburu oleh perempuan. Semua perempuan yang diburu diperlakukan sebagai binatang buruan, dan semua perempuan yang tidak diburu mempersiapkan diri untuk memburu. Karena itulah, setiap kali dia menullis novel, dia selalu memburu atau diburu perempuan. Istri baru boleh, pacar baru juga boleh. Rambut di dalam almari kaca itu tidak lain adalah rambut salah satu istrinya menjelang dia menulis The Sun Also Rises, novel mengenai generasi yang hilang tergilas oleh Perang Dunia I.
Angela menempelkan tubuhnya rapat-rapat ke tubuh saya. Rasanya sangat dingin, dan karena sangat dingin, saya agak menggigil.
Ketika malam tiba saya lupa mengunci pintu, lalu tertidur, dan terbangun karena serangan mimpi buruk. Ternyata bukan mimpi buruk: Dengan nafas mendengus-dengus Angela menindihi tubuh saya.
“Bangsat!” teriaknya beberapa saat kemudian. “Ternyata kamu sama. Sama dengan Bayardo Sans Roman. Sama dengan semua bajingan yang akan memperkosa saya.”
Itulah pertemuan terakhir saya dengan Angela. Saya pulang ke tanah air. Menurut cerita teman-teman dari Bloomington, Angela akhirnya bertemu dengan seorang laki-laki dari Ethiopia, menikah, dan mengikuti suaminya ke Ethiopia.
Itu dulu. Dan sekarang, ketika saya membuka daftar mahasiswa peserta mata kuliah saya, muncullah nama Angela Vicario. Dari potretnya saya tahu, dialah Angela Vicario dulu.
Kuliah sudah berjalan sebulan, tapi Angela tidak pernah muncul.
Ketika saya membuka pintu ruang kerja menjelang akhir semester, saya menemukan sebuah surat dekat lubang bawah pintu.
“Burhanto, Tony Mbanta, laki-laki Ethiopia itu, sama saja. Gagah. Tapi tidak mampu menjebol harta karun saya. Perasaan saya sangat tersinggung. Dengan segala kesabaran, saya maafkan dia.”
“Untuk menghilangkan rasa malu dia kepada saya, dia melarikan diri ke rapat-rapat orang-orang komunis. Dia sering diajak ke luar negeri. Ke Cina, ke Tajikistan, ke Rusia, dan entah ke mana lagi. Dia sesumbar, pada suatu saat nanti dia akan jadi menteri.”
”Pada suatu malam apartemen kami digrebeg pasukan Kaisar Haile Selassie. Dia diseret ke lapangan terbuka, diberondong peluru.”
“Saya kembali ke Bloomington. Baca buku-buku kamu. Kurang ajar! Kisah hidup saya kamu gali habis-habisan. Rahasia pribadi dan kesengsaraan saya kamu sajikan kepada pembaca dunia. Ingat, bukan saya yang membunuh Santiago, tapi karena saya, Santiago mampus.”



0 comments:

Post a Comment