get this widget here

Wednesday, 31 December 2014

Batu Permata Mirah Windusara

Saya mulai tertarik dengan batu permata setelah guru saya memperlihatkannya kepada saya. Saya tertarik karena bentuk dan warnanya sangat unik. Walaupun saya tidak tahu tentang khasiatnya, namun saya tertarik dengan batu permata entah apa yang menyebabkan. Mengingat harganya yang cukup mahal, dan saya juga tidak memiliki banyak uang untuk membeli, maka saya memutuskan untuk searching di internet mencari jenis-jenis batu permata. Alhasil saya menemukan sebuah blog yaitu blog Rahasia Batu Mulia, dengan alamat  http://anekapermatamulia.blogspot.com dan dari blog ini saya mendapat pengetahuan lebih tentang batu permata.

Kemudian saya memutuskan untuk memposting ulang artikel yang ada di blog tersebut di blog saya. Adapun artikel yang saya dapatkan dari blog tersebut yaitu sebagai berikut.

***************************
Batu Permata Mirah Windusara



Permata windusara merupakan batu mulia dengan jenis batu mirah atau Robijn atau Ruby adalah batu yang tergolong dalam batuan Curundum mineral (Korund) dan memiliki nilai kekerasan 9 mohs, batu ini juga memiliki berat jenis 3,99-4.00.


Batu ini khususnya di pulau bali dinamakan Batu permata windusara mempunyai ciri berwarna merah ada titik putih seperti biji delima kalau di luar bali sering disebut dengan mirah delima,bila dicelupkan kedalam segelas air maka air dalam gelas akan berubah warna menjadi merah .Khasiat dari batu ini sangat tinggi sehingga menjadi barang pujaan/ disakralkan. Batu ini sangat jarang ditemukan dan sangat jarang ada orang menjualnya dan andaikan ada harganya amat tinggi. Orang bali percaya bahwa batu ini adalah anugrah (paica) dari hyang kuasa, oleh karenanya sangat jarang diperjual belikan dan biasanya hanya dimiliki oleh raja-raja Bali.
Han Sam Kay merupakan pengemar batu permata ia adalah anggota Gemmological Association Of Great Britain, dan sekali berbicara tentang mirah bliau sungguh sangat terpesona melihat keindahan mahkota raja bali. Ditengah mahkota itu dihias dengan sebutir Han Ruby dan di Bali dikenal dengan mirah Windusara, batu mirah besar berbintang enam tajam sekali, warnanya merah bergaris sutra putih. Kata beliau belumpernah melihat bandingannya di seluruh indonesia.


Di Negeri Inggris tepatnya di Tower of London Museum mahkota-mahkota Raja Inggris dan barang-barang perhiasan kerajaan. Bliau (HAn Sam Kay) pernah melihat sejenis Ruby besar, tetapi tidak sedemikian indahnya seperti Han Ruby dari Bali. Batu mirah yang menghias Imperal State Crown ini mula-mula dikira mirah ( Curundum), namun kemudian menurut penelitu para ahli batuan menyimpulkan bahwa batu mirah tersebut merupakan Spinel, jadi dengan sendirinya nilainyapun berkurang bila dibandingkan dengan HanRuby mahkota Raja Bali yang mempunyai riwayat yang megah.


Khasiat dari batu permata mirah windusara
Di Bali batu mirah windusara kerap digunakan /dipakaikan orang yang telah meninggal dunia, mulutnya dipasangi batu permata ini, hal ini dimaksud supaya jenasah tidak berbau busuk dan cara memasangnyapun tidak boleh menggunakan tangan melainkan dengan mulut. Batu ini juga dipercaya  berkhasiat untuk mendatangkan banyak rejeki, sangat cocok digunakan oleh seorang peminpin karena dapat meningkatkan kewibawaan dan kesejahteraan.

Demikial sekilas mengenai batu permata mirah windusara, semoga dapat menambah wawasan kita mengenai batu permata mulia.



Tuesday, 30 December 2014

Karma Tanah

Cerpen Ketut Syahruwardi Abbas (Kompas, 9 November 2014)


”Aku lelah. Boleh aku tidur?”
Komang Warsa memegang
tangan istrinya dengan lembut.
”Tidurlah. Besok tidak perlu bangun pagi. Tuan dan Nyonya tidak ada.”
Dek Tini memandang wajah suaminya. Ia terpaksa memutar kepala dan harus menahan rasa nyeri di tulang belakang lehernya.
”Hati-hati lehermu sakit lagi,” kata Komang Warsa setelah tahu istrinya memutar kepala untuk memandanginya. ”Tidur sajalah. Mudah-mudahan besok lehermu bisa sembuh.”
Suami istri itu masih berpegangan tangan ketika mereka saling pandang. Seharian mereka bekerja membereskan apa saja di vila milik warga negara Belanda yang beristrikan perempuan Jakarta. Keduanya mendapatkan satu kamar di bagian belakang vila dengan satu tempat tidur, satu lemari, dan satu meja rias sederhana.
”Aku rindu pada anak-anak,” kata Dek Tini lirih. ”Berhari-hari telepon dan SMS tidak dijawab. Aku ingin Galungan nanti kita berkumpul.”
”Sudahlah. Mereka pasti baik-baik saja. Mungkin terlalu sibuk. Maklumlah, kerja menjadi polisi di tempat jauh.” Komang Warsa tidak mampu melanjutkan kata-katanya ketika melihat istrinya menitikkan air mata.
Hening.
”Tidur, yuk....”
Mereka masih berpegangan tangan ketika mencoba memejamkan mata.
”Tidak bisa tidur. Aku rindu anak-anak. Aku ingin Galungan nanti mereka pulang.” Dek Tini bangkit dan duduk di sisi pembaringan. ”Tapi, kalaupun pulang, mereka pulang ke mana?” kata perempuan itu sambil tetap membelakangi suaminya yang berbaring sambil tengadah. ”Kita tidak lagi punya rumah.” Kata-kata yang keluar dari mulut perempuan yang tampak jauh lebih tua dari umurnya yang kini menginjak 52 tahun itu terdengar sayup, lamat-lamat, dan putus-putus.
”Sudahlah. Tidurlah. Nanti kita bangun gubuk kecil di Tabanan. Ah, sudah lama kita tidak menjenguk ladang kita itu. Lumayan, lho. Di sini kita menjual sepetak sawah dengan satu rumah, kita bisa membeli ladang cukup lebar. Kita juga bisa....”
”Tapi sekarang kita tidak punya rumah. Kalau Putu dan Made pulang, mereka pulang ke mana? Arooohhhh... tidak jelas pula mereka harus membanjar di mana?”
”Janganlah semua hal dipikirkan sekarang. Tidurlah. Siapa tahu nanti kita bisa minta izin dan kita bisa nengok tegalan di Tabanan....”
”Aku rindu pada anak-anak kita.”
”Aku juga. Tapi ini sudah sangat larut.”
Tini merebahkan tubuhnya di kasur. Beberapa kali terdengar anjing menggonggong dan derum kendaraan melintas. Angin lembut memasuki kamar melalui celah-celah jendela menjadikan malam terasa lebih dingin. Tini memegang tangan suaminya dengan lembut. Tangan itu kasar dan hangat, khas milik petani. Tangan itulah yang dulu dikaguminya. Tangan itulah yang dengan perkasa membopongnya di malam pernikahan mereka.
”Aku ingat ketika kita menikah dulu. Di sini. Di atas tanah ini. Tanah kita, rumah kita. Sekarang kita numpang di atas tanah yang dulu menjadi milik kita. Aneh sekali, ya.” Hening.
”Di sini pula kita membesarkan Putu dan Made. Ah, anak-anak itu. Sekarang pasti sedang lelap tidur dengan istri dan suami masing-masing di pulau seberang. Mungkin mereka lelah setelah seharian bekerja. Putu sibuk berpatroli di pedalaman, Made sibuk melayani ibu-ibu yang mau melahirkan. Ya, mereka pasti sangat sibuk di siang hari dan sangat lelah di malam hari sehingga tidak sempat menghubungi kita.”
Hening sejenak. Terdengar lolongan anjing, suara mobil berhenti, dan orang bercakap dalam bahasa Inggris. Sepertinya itu suara penghuni vila sebelah yang baru pulang entah dari mana.
Kampung ini, sebuah desa di pedalaman Kabupaten Badung, Bali, kini berubah menjadi perkampungan internasional. Ratusan vila milik orang asing memenuhi perkampungan ini. Mereka membeli tanah penduduk dan menjadikannya bangunan-bangunan megah dengan pagar tinggi. Pada mulanya hanya satu dua vila didirikan. Kian lama, kian banyak saja tanah persawahan yang dijual dan berubah menjadi bangunan-bangunan megah milik orang asing. Penduduk di sana sangat tergiur melihat limpahan uang yang jauh melampaui bayangan mereka. Belakangan, ketika harga tanah kian melonjak tinggi, para petani pemilik tak mampu lagi membayar pajak yang kian membebani. Maka kian tinggi pulalah minat masyarakat menjual tanahnya.
Warsa pun tak sanggup bertahan. Sepetak sawah beserta gubuk kecil miliknya dijual dengan harga tinggi. Sebagian uang itu digunakannya untuk membeli beberapa meter tanah perkebunan di kawasan Tabanan, selebihnya digunakan untuk ”pelicin” agar Putu, anak pertamanya, diterima di kepolisian dan biaya kuliah anak keduanya, Made, di akademi kebidanan di Yogyakarta. Tak bersisa. Warsa dan Tini tak sanggup membangun rumah baru. Mereka mengontrak satu rumah kecil. Dalam setahun, ia tak sanggup membayar kontrak rumah. Mereka pun tinggal di sebuah kamar kos.
Pada saat seperti itulah muncul tawaran untuk bekerja di vila yang berdiri di bekas tanah miliknya. Di sana Warsa dan istrinya mendapatkan kamar di bagian belakang. Mereka bertugas membersihkan vila, merawat kebun, dan berbagai pekerjaan lain. Untuk itu, mereka mendapatkan upah bulanan, tempat tinggal, dan kebutuhan sehari-hari.
Malam ini adalah malam kesekian Tini menunggu kabar dari kedua anaknya. Sesekali mereka menelepon, menanyakan kabar. Tetapi tak pernah lama. Pembicaraan selalu terputus setelah mereka berbicara beberapa kalimat. Tak sekali pun mereka menyinggung keinginan untuk pulang.
”Aku kangen pada mereka. Ingin mereka ada di sini bersama kita. Tapi, aroooooohhhhh, di mana mereka harus tidur? Sangat aneh kalau mereka pulang, tetapi harus menginap di hotel.” Tini kembali berkata-kata dengan suara lemah diselingi isak tertahan.
”Nanti kita buat rumah yang besar di Tabanan,” hibur Warsa. ”Kita bikin kamar-kamar yang besar untuk kedua anak kita. Di depan rumah kita buat halaman yang luas agar cucu kita bisa berlarian sekehendak hati mereka.”
Hening. Komang Warsa tidak yakin dengan ucapannya sendiri. Karena itu, kata-kata yang keluar dari mulutnya terasa datar dan hambar.
”Jangan mimpi,” sahut istrinya. ”Sangat mungkin mereka enggan pulang karena sudah tahu tidak lagi punya banjar. Tidak lagi punya sanggah. Apa gunanya pulang kalau tidak bisa maturan, mebakti pada leluhur. Untuk apa pulang kalau tidak tahu harus pulang ke mana....”
Hingga malam tergelincir ke pagi, kedua suami-istri ini tak juga berhasil memejamkan mata. Pikiran mereka berkelana ke mana-mana, terutama ke masa lalu, ke masa ketika anak-anak masih kecil, ketika mereka menggarap sawah sempit di belakang gubuk yang mereka huni. Dulu mereka memupuk harapan kelak anak-anak itu menjadi petani hebat, memiliki sawah luas dan perkebunan berhektar-hektar. Mereka tak pernah jemu menyaksikan Putu dan Made berlarian, bertelanjang, tubuh penuh lumpur. Mereka selalu tertawa menyaksikan Made tersaruk-saruk di sawah basah, sesekali terjatuh, dan bangun dengan susah payah. Tak pernah mereka membayangkan tanah yang membahagiakan itu akan berubah menjadi vila megah milik lelaki berkulit putih dengan bulu di sekujur tubuh. Mereka tidak pernah membayangkan, sanggah tempat biasa bertutur sapa dengan para leluhur kini berubah menjadi kolam renang.
Ingat itu semua, Komang Warsa mengeluh. Ternyata ia hanyalah lelaki yang lemah. Ia merasa tak sanggup mempertahankan tanah yang diwariskan oleh ayahnya, oleh kakeknya, oleh para leluhur.
”Sudah lewat. Sudah telanjur. Apa lagi yang bisa dilakukan selain berharap nanti kita bisa membangun yang lebih besar di tegalan kita di Tabanan,” kata Warsa, lebih kepada diri sendiri. ”Mungkin kalau tanah ini tidak kita jual, kita tidak akan mampu menyekolahkan anak-anak, mungkin Putu tidak menjadi polisi, mungkin hanya akan menjadi pemabuk di sini karena tanah kita tidak bisa ditanami padi lagi. Sudah tidak ada saluran air. Subak tidak berfungsi. Kita pun tak sanggup membayar pajak. Sudahlah, sudahlah, mungkin memang harus begini. Mungkin karma kita memang harus begini.”
Dingin kian menggigilkan. Warsa memeluk istrinya. Keharuan sangat kuat menguasai kamar mereka. Warsa menyeka air di ujung mata istrinya. Kembali terdengar anjing menyalak mengikuti suara sepeda motor melintas di depan vila. Tak lama kemudian Komang Warsa tak ingat apa-apa lagi. Ia tertidur dengan posisi memeluk Tini. Perempuan itu tetap tak bisa memejamkan mata. Tetap menatap nanar ke arah langit-langit putih kamarnya. Pikirannya berputar-putar, kepalanya terasa sangat pening, dan beberapa butir air mata menggelinding jatuh ke bantal. Kini ia hanya diam. Sekuat tenaga ia menahan agar tak sesenggukan. Takut suaminya terbangun. Ia tahu suaminya pun sangat sedih. Sangat pedih. Sangat kecewa dengan perjalanan hidup yang mereka lalui. Berkali-kali suaminya itu mengeluhkan kelemahannya sebagai lelaki dan sebagai suami yang menyeret Dek Tini ke ruang sempit di belakang vila ini, bekerja sebagai jongos di vila yang dibangun di bekas tanah milik mereka.
Tini sangat mencintai suaminya. Tini tidak mau suaminya merasa tidak berguna. Maka ia tak ingin Warsa terbangun dan kembali menyadari posisinya. Sakit di leher ia tahan sekuat tenaga.
Hingga pagi tiba.
Ketika matahari memancarkan cahayanya di balik atap vila-vila yang berjajar sepanjang jalan kampung, Komang Warsa terjaga. Perlahan ia bangkit dari tempat tidur. Dilihatnya Dek Tini tertidur. Sisa air mata masih terlihat di sudut mata yang terpejam. Beberapa kali ia lihat istrinya itu mengeluh dalam tidur dan menyebut-nyebut nama kedua anaknya. Warsa tak kuasa menahan haru. Ia segera keluar kamar, mencuci muka, pergi ke kolam renang dan membersihkan guguran daun-daun yang mengambang di atas air.
Kali ini ia tidak sepenuhnya berkonsentrasi. Pikirannya menerawang pada istrinya, pada kedua anaknya, juga kepada sanggah yang telah berganti kolam renang. Komang Warsa tidak bisa menampik kebenaran kata-kata istrinya. Rumah tidak ada. Sanggah tidak ada. Banjar pun tak jelas pula, karena kampung ini telah berubah total. Tak ada lagi warga asli yang menjadi warga banjar. Semuanya telah menjual sawah dan rumah mereka dan kini berpencaran entah di mana. Maka terbayanglah masa akhir hidupnya: ”Kelak kalau mati siapa yang akan ngabenkan jasadku, jasad istriku, dan anak-anakku?”
Komang Warsa lahir dan besar di kampung ini. Istrinya pun lahir di sini. Keluarga mereka semuanya lahir di sini. Nenek moyang mereka pun lahir di sini. Karena itu, hanya di sini mereka mebanjar. Tidak di tempat lain. Lalu, jika banjar itu bubar, banjar mana lagi yang bisa mereka datangi agar kelak ada orang yang mengurus jasad mereka.
Komang Warsa memandang nanar pojokan kolam. Di sanalah sanggah mereka berdiri. Dulu. Di sanalah ia dan istrinya menghaturkan sesembahan kepada para leluhur. Di sanalah ia merasa bisa bertemu dengan para leluhur dan meminta agar mereka senantiasa melindungi keluarganya, senantiasa memberi petunjuk kebenaran dan jalan kehidupan. Kini sanggah itu telah lenyap. Ia merasa tak menemukan tempat untuk bisa berkomunikasi dengan para leluhur. Ada kekosongan besar dalam dadanya, dalam hatinya, dalam pikirannya.
Ketika kekosongan itu kian melimbungkan, Warsa dikejutkan suara istrinya yang terdengar letih.
”Aku mau maturan. Bisa tolong belikan canang?”
”Kenapa harus beli canang. Mari aku petikkan beberapa bunga yang ada di sini. Bersembahyanglah dengan itu,” jawab Warsa sambil berdiri dan memetik beberapa jenis bunga di kebun halaman vila. Mereka meletakkan bunga-bunga itu di atas daun pisang yang dibentuk seperti piring. Dengan sarana sederhana itu Dek Tini bersembahyang di pinggir kolam, persis di lokasi sanggah mereka dulu.
Dengan khusyuk perempuan berkulit coklat itu mencakupkan tangan dengan satu kelopak bunga di ujung jari. Tangan itu diangkat hingga ke atas kepala diiringi ucapan-ucapan yang tak jelas. Lama sekali Dek Tini melakukan persembahyangan itu. Terlalu lama untuk ukuran biasa. Terlalu lama untuk ukuran Komang Warsa. Lelaki itu pun cemas. Ia segera mendekati istrinya. Tapi belum sampai di tempat istrinya sembahyang, ia lihat Dek Tini limbung dan jatuh.
Komang Warsa panik. Ia mengangkat tubuh istrinya. Berlari keluar vila. Berteriak minta tolong. Orang-orang berlarian mengerumuni. Warsa bingung karena hampir semua orang yang mengerubutinya berkulit putih dan bertanya-tanya dalam bahasa asing.


Banjar: komunitas warga setingkat RW
Sanggah: tempat suci keluarga
Maturan: menghaturkan sesaji
Mebakti: bersembahyang
Canang: sesaji dari janur/daun dan bunga


SARONAY DAN BULAN BULAT

Cerpen Toni Lesmana (Kompas, 7 Desember 2014)

 

Mereka duduk di rel. Satu jalur rel yang tak terpakai, dari lima jalur yang ada di depan stasiun kecil yang sunyi itu. Rel di pinggir parit ini adalah rel terjauh dari depan stasiun. Rel ini berakhir di sebuah tugu mungil setinggi satu meter, ke sananya lagi kebun singkong. Mereka duduk tepat di depan mulut sebuah gang yang, diapit kolam-kolam kecil, mengarah ke rumah-rumah temaram.
Tak ada kereta yang lewat. Sepi. Angin mengantar dingin. Lampu di stasiun seberang mereka benderang. Begitu pula lampu-lampu yang menerangi rel. Enam tiang, setiap tiang dua lampu. Mirip sepasang mata. Sedikit jauh di arah barat dan timur, pada jarak yang mulai gelap, di setiap jalur berdiri juga tiang-tiang lampu lainnya. Semuanya menyorotkan warna merah. Empat di barat, empat di timur.
Saronay menatap bulan bulat putih di langit. Ia tercekat. Tiba-tiba saja dalam pandangannya melayang-layang kain kafan. Bulan yang putih, malam ini, tak lagi cahaya. Ia melihat kafan melayang di langit.
”Batu-batu bisa mengaduh, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya melempar-lempar batu kecil ke arah rel yang lain. Kadang terbit denting, selebihnya senyap.
Saronay masih menikmati langit. Seperti seseorang yang bercermin dan terkesima menemukan bukan dirinya yang nampak di cermin. Ia tengadah dengan napas tertahan. Ia ingin bertanya kenapa bulan tampak seperti kain kafan. Kain kafan yang seakan dipenuhi kata-kata. Kata-kata yang tak bisa ia baca.
Ia tahu tak mungkin bertanya pada kekasihnya yang sedang dibakar cemburu. Kekasihnya selalu cemburu jika Saronay mabuk. Setiap kali mabuk ia selalu mendiamkan kekasihnya. Dan kalau sedang cemburu, kekasihnya akan minum lebih banyak, dan lebih mabuk darinya.
”Angin bisa bikin gigil, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya merapatkan jaket. Membakar rokok. Batuk-batuk. Rokok diinjak. Membakar lagi yang baru. Batuk-batuk lagi. Kunang-kunang hinggap di batu. Dikejarnya dengan bara rokok. Tak berhasil. Bara rokok ditekankan ke punggung tangan kirinya. Terpejam. Padam.
Saronay bangkit, tangannya menggapai-gapai udara, seakan ingin menangkap bulan. Tubuhnya bukannya melompat, malah miring.
Bunyi tanda akan kedatangan kereta nyaring dari stasiun. Suara operator mengabarkan nama kereta, kota asal dan tujuan kereta tersebut. Beberapa petugas keluar dari ruangan. Berdiri di pinggir rel jalur satu. Satu lampu merah berganti hijau di arah timur. Suara gemuruh dari timur. Sorot cahaya datang. Gemuruh dan cahaya mendekat. Melambat. Kereta dengan gerbong-gerbong kosong berhenti. Stasiun tertutup kereta.
”Kereta bisa gemuruh, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya membakar rokok. Batuk-batuk. Dan menekan bara pada punggung tangan. Tak meringis. Hanya menangis.
Saronay semakin miring. Jarinya meraih-raih di udara. Mukanya tetap tengadah. Bulat bulat putih. Jauh melayang di angkasa. Melayang-layang kain kafan. Remang muram kata-kata.
Beberapa wajah mengintip dari jendela kereta. Sebagian kepala-kepala terkulai seperti tak berbadan. Peluit nyaring. Gemuruh. Kereta berangkat. Pelan. Ke arah barat. Menghilang di gelap kelokan. Para petugas menghilang lagi ke ruangan. Stasiun hanya terang lampu dan beberapa burung mungil yang mencari tempat tidur.
Siapa yang tenang bersemayam dalam kafan, kata-kata apa yang nyaman berkendara kafan, di mana bulan, di mana cahaya. Saronay terus miring oleh gejolak pertanyaan, telunjuknya mulai menunjuk langit. Runcing dan gemetar.
”Luka bisa bikin perih, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya mulai membuka botol minuman. Mereguknya lalu dimuntahkan pada luka di punggung tangannya. Berulang. Bau minuman dibawa angin.
Kunang-kunang hinggap di rel. Cepat botol minuman menghajarnya. Prang. Botol dalam genggaman tersisa setengahnya. Ujung-ujung runcingnya berkilat. Tajam.
Saronay terjatuh telentang di atas rel dengan wajah tetap memandang langit, telunjuk lurus ke bulan.
Kekasihnya mulai menjilati reruncing botol. Menikam punggung lengan. Ditarik lagi. Dijilati lagi.
Seseorang muncul dari gudang tua di sebelah kanan stasiun. Berjalan melintasi rel. Seorang lagi berlari menyusul. Tepat di bawah sepasang lampu, nampak pakaian mereka lusuh. Lelaki dan perempuan. Berjalan menuju Saronay dan kekasihnya.
”Bagaimana? Kau dapat banyak? Beli apa saja buat makan?” tanya yang lelaki, mungkin suaminya.
”Orang-orang makin pelit! Ini aku beli ikan bakar kesukaanmu.” jawab yang perempuan.
”Mantap itu. Ya. Hanya anak-anak saja yang masih mau memberi.”
”Barangkali mereka sudah tak percaya pada amal.”
”Jaman memang makin sulit. Semakin tak ada yang murah hati.”
”Padahal rejeki mereka akan berlipat kalau banyak memberi pada orang miskin.”
”Haha … rejeki kita yang berlipat kalau mereka banyak memberi.”
Mereka tertahan sejenak.
”Beri mereka!” bisik suaminya.
”Beri apa?” bisik istrinya.
”Uang receh. Sekali-kali kita memberi. Mereka lebih menyedihkan dari kita. Biar rejeki kita berlipat.”
”Mereka orang kaya.”
”Ya. Tapi lebih menyedihkan dari orang miskin.”
Istrinya melempar uang receh. Suami istri peminta-minta berjalan hati-hati. Hampir mengendap-endap. Menghindari Saronay dan kekasihnya. Melompati parit. Masuk gang.
Petugas keamanan stasiun keluar. Berdiri. Melihat ke segala arah. Seorang lagi keluar. Seluruhnya tiga orang. Dua orang membawa senter. Berjalan menyusuri dan menyoroti rel ke arah timur. Sampai lampu yang berwarna merah. Kembali lagi. Masuk lagi ke ruangan.
Angin makin dingin. Kabut turun. Tipis. Membayang di lampu-lampu.
Bulan bulat putih. Pucat. Sedikit bergeser ke barat.
Saronay mendadak bangun. Duduk miring. Di matanya kafan berubah menjadi sajadah putih. Kata-kata yang remang gelap berlepasan dan menyatu berdiri di atasnya. Sajadah melayang dan kata-kata tegak.
Saronay merasakan gelegak pertanyaan. Di mana bulan, di mana cahaya. Pertanyaan yang saling berbenturan dalam kepalanya. Ia berharap dapat membaca kata-kata itu. Ia berharap jawaban. Tapi pikirannya benar-benar mabuk.
”Darah bisa ngalir, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya masih menjilati darah di ujung reruncing botol. Luka tak hanya di punggung tangan, tapi memanjang di lengan, sebagian di pipi.
Seluruh tubuh Saronay bergetar. Ia mencoba bangkit lagi. Miring. Jari-jarinya meraih-raih. Di matanya terus saling bergantian antara kafan dan sajadah. Kata-kata yang terbaring dan tegak.
Saronay merasakan gelegak terus memuncak. Ia tak tahan dengan serbuan mabuk, tikaman pertanyaan.
”Aku harus pergi! Kita benar-benar harus berpisah!” ucapnya patah-patah sambil tetap menatap bulan bulat putih, sambil semakin miring.
”Tak bisa. Kita saling mencintai! Kau terlalu mabuk. Dan aku cemburu pada mabukmu.” kekasihnya mengangkat botol tinggi-tinggi.
”Ada yang lebih mencintaiku!” suara Saronay berat serak.
”Tak ada yang lebih mencintaimu daripada aku!”
”Aku harus pergi! Aku tak mencintaimu!”
”Kau mencintaiku!”
”Aku harus pergi! Aku harus pergi!” Saronay mulai berteriak tapi tubuhnya semakin miring.
”Kau mabuk! Kau lebih mencintai mabuk daripada aku!” kekasihnya mengarahkan ujung botol ke muka Saronay yang masih saja tengadah ke langit.
”Aku harus pergi!”
”Kau mau pergi ke mana? Mabuk ada dalam tubuhmu. Akan kukeluarkan sekarang juga.” Kekasihnya bergerak mengancam.
”Aku harus pergi! Pergi menemukan kata-kata! Kata-kata!” Saronay tak memedulikan ancaman reruncing botol. Matanya dipenuhi kafan dan sajadah, yang terus bergantian, menggodanya dengan kata-kata.
”TIdak bisa! Kau mabuk, Kekasihku! Jika mau pergi kau harus bertempur dulu denganku. Baru kau boleh bertemu dengan apa saja. Mabuk sialan. Kata-kata sialan! Kalau perlu kuantar kau ke rumah mabuk, ke rumah kata-kata.” kekasihnya bergerak memburu. Cemburu sudah
”Aku harus pergi! Aku mencintai kata-kata!” Saronay masuk dalam pelukan kekasihnya.
Bunyi tanda kedatangan kembali nyaring dari stasiun. Gemuruh di kejauhan. Sorot cahaya dari arah barat.
Saronay yang terus meracau digusur kekasihnya memasuki gang. Darah menetes di gang. Berbelok ke sebuah mushola di pinggir kolam. Keduanya lenyap bersamaan dengan decit memanjang dari kereta yang berhenti.
Bulan bulat putih semakin tergelincir ke barat. Selepas kereta berangkat lagi, stasiun kembali sunyi. Angin semakin dingin. Berhembus tipis. Mengiris apa saja.
Kegaduhan terjadi menjelang subuh. Seseorang yang hendak masuk mushola, tiba-tiba berlari dan berteriak-teriak seperti orang gila, berlari ke rumah-rumah temaram. Menggedor setiap pintu.
Orang-orang dengan kantuknya masing-masing berhamburan menuju mushola.
”Ada apa?” teriak seseorang yang baru datang.
”Saronay dan Sarotoy!” jawab yang lain gemetar.
”Pemabuk itu? Pasangan itu? Kenapa?” teriak yang lain.
”Mati di mushola!” jawab yang lainnya lagi terkencing-kencing.
”Beruntung sekali mereka mati dalam mushola. Mungkin mereka dijemput ajal ketika sedang tobat!” kata yang lainnya, diamini oleh yang juga baru datang.
Orang-orang berebutan ingin melihat ke dalam mushola, nampak di sana berpelukan sepasang tubuh bermandikan darah. Darah di mana-mana. Sepasang tubuh laki-laki telanjang. Saronay dan kekasihnya.
Orang-orang terus berdatangan. Mushola mendadak ramai seperti pasar. Stasiun tetap didatangi dan ditinggalkan kereta.
Di langit, bulan bulat putih terus mengelinding ke arah barat. Putih pucat bercadar awan tipis. Seperti dibungkus kafan, seperti mengendarai sajadah.


PEREMPUAN YANG MENJAHIT BIBIRNYA SENDIRI

Cerpen Mashdar Zainal (Kompas, 28 Desember 2014)


Perempuan itu duduk dengan sangat tenang, sambil menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang berjuntaian. Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia menjahitnya begitu saja, seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya. Sampai tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara. Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
Semula, ia adalah perempuan yang banyak sekali bicara. Setiap orang yang ia temui, entah ia kenal entah tidak, akan ia ajak bicara. Bicara apa saja. Obyeknya pun bisa apa saja. Di mana saja dan kapan saja. Perempuan itu akan terus bicara. Sampai mulutnya berbusa-busa. Dan mengeluarkan bau yang sangat tidak sedap.
Semula, perempuan itu tidak menyadari akan bau yang sangat busuk, yang menguar dari mulutnya itu. Hingga suatu ketika, satu persatu, orang yang ia ajak bicara selalu menutup hidung, mata dan telinga mereka. Beberapa yang lain, memilih untuk menghindar, meninggalkannya tanpa sepatah kata. Ketika ia bertanya, apa yang salah dengan ucapannya, beberapa orang memilih untuk jujur, dengan mengatakan, bahwa setiap ucapan yang keluar dari mulutnya, tidak hanya bau, tapi juga buas, tajam, beracun, dan bisa membunuh siapa saja.
Maka, serta merta, perempuan itu menyadari sesuatu, bahwa mungkin, semua keluarganya—bapak, ibu, dan adik perempuannya—yang mati beberapa tahun lalu itu, tak lain dan tak bukan disebabkan oleh sesuatu yang menyembul dari mulutnya. Mendadak, perempuan itu teringat kata-kata bapaknya—yang seorang pemburu, ”Mulutmu adalah harimau, jika kau tidak bisa menjadi pawang yang baik, jika kau tak bisa mengendalikannya dengan baik, kau akan diterkamnya sendiri.”
Beberapa hari setelah mengatakan itu, pada suatu malam bapaknya dinyatakan hilang di hutan saat melakukan perburuan, hingga paginya, ketika dilakukan pencarian, bapaknya sudah ditemukan tewas terperosok ke dalam jurang, dengan tubuh penuh luka sayatan, luka yang memanjang seperti bekas cakaran binatang buas. Ketika itu, ia hanya menerka-nerka, bahwa bapaknya tewas diterkam binatang buas sebelum akhirnya terlempar ke ceruk jurang.
Namun, jika ditelusuri, sebenarnya ia sendiri yang membujuk bapaknya untuk berburu ke hutan malam-malam. Saat malam hari, semua binatang yang bersembunyi akan keluar dari sarangnya, jadi bapak akan pulang dengan binatang buruan yang melimpah, begitulah ia meyakinkan bapaknya dengan kata-kata. Hingga bapaknya benar-benar berangkat ke hutan malam-malam buta.
Kini, perempuan itu mulai berani menyimpulkan sesuatu, tentang harimau yang dituturkan bapaknya. Jika harimau itu bisa menerkam pemiliknya sendiri, bukan tidak mungkin ia akan menerkam dan melukai orang yang ada di sekitarnya. Kematian bapaknya adalah sebuah bukti nyata.
Beberapa bulan setelah bapaknya meninggal dikoyak binatang buas. Ibunya, yang seorang penjual daging, juga ditemukan tewas dengan beberapa luka tusukan di tubuhnya. Kabar yang beredar ketika itu adalah, ibunya telah menjadi korban perampokan yang beberapa waktu terakhir kian marak. Hal tersebut dibuktikan oleh barang-barang dan perhiasan yang dibawa ibunya yang turut raib. Mendadak, ia teringat bahwa beberapa waktu sebelum ibunya ditemukan tewas, ibunya pernah bertutur padanya, ”Mulutmu adalah pisau, Nak. Tajam dan bisa menghunjam apa saja. Jika kau tak menggunakannya dengan baik, kau bisa teriris sendiri olehnya.”
Beberapa waktu, jauh sebelum kejadian itu, ia selalu berkoar pada banyak orang, bahwa ibunya adalah seorang perempuan yang sangat pelit. Tak pernah sudi mengeluarkan sepeser uang pun untuk menyenangkan anaknya. Padahal ia tahu, ibunya punya banyak uang dan perhiasan yang nilainya jutaan. Ketika itu, ia juga sempat menjabarkan kebiasaan buruk ibunya, yang suka menyembunyikan aneka perhiasan dalam dompet butut yang selalu dibawanya ke mana ia pergi.
Kini, barulah perempuan itu mafhum mengenai pisau yang dibicarakan ibunya.
Mengenai adik perempuannya yang meninggal karena menenggak racun, ia mulai meraba-raba, dan satu hal yang kemudian hinggap dalam ingatannya. Suatu ketika, adik perempuannya itu pernah berkata, ”Mulutmu adalah gua beracun, jadi, lebih baik tidak terlalu sering kau membukanya. Kau tahu, racun itu sangat berbahaya, bisa membunuh siapa saja.”
Beberapa hari setelah itu, secara
tak sengaja, ia memergoki kekasih adiknya tengah berduaan dengan gadis lain. Dan baginya, perkara semacam itu
adalah perkara yang wajib ia ceritakan. Maka, sesampainya di rumah, ia menceritakan perselingkuhan itu pada adiknya, dengan sedikit bumbu-bumbu supaya semakin pedas. Maka terjadilah pertengkaran hebat antara sepasang kekasih itu. Berselang waktu, lambat laun, adiknya menjadi seorang gadis yang sangat pemurung. Tak banyak kata. Suka menyendiri. Mengurung
diri di dalam kamar. Hingga suatu malam, ia ditemukan tewas bunuh diri dengan menenggak sebotol racun serangga.
Satu persatu, perempuan itu mulai merunut, hingga ia menemukan akar dari semua permasalahan, yakni mulut, mulutnya sendiri. Mulutnya yang sangat buas seperti harimau. Mulutnya yang sangat tajam seperti mata pisau. Mulutnya yang sangat berbahaya seperti bisa. Menyadari dirinya telah berubah menjadi monster yang telah mencelakakan dan dijauhi banyak orang, perempuan itu memutuskan untuk menjahit mulutnya sendiri. Menutup pintu bencana yang selama ini telah menyusahkan banyak orang.
Dengan sangat tekun, perempuan itu menyulam bibirnya sendiri. Tangannya bergerak runtun. Jarum mungil itu ia tusuk-tusukkan dengan tertib ke bibirnya. Lantas ditariknya kembali jarum mungil itu perlahan-lahan. Benang-benang berjuntaian. Sulaman itu begitu rapi dan bersih. Tak ada darah mengalir ataupun luka berarti. Ia menjahitnya begitu saja. Seperti menjahit sebuah kain yang terbelah. Seperti menjahit sebuah luka yang menganga. Ia merapatkan jahitan itu serapat-rapatnya. Sampai tak ada lagi celah di antara dua bibirnya yang bisa mengeluarkan suara. Benar-benar rapat. Serapat-rapatnya.
Usai menamatkan jahitannya, perempuan itu berjalan terhuyung mendekati cermin. Dengan saksama, ia memerhatikan mulutnya sendiri yang kini telah rapat oleh sulaman benang. Dirabanya mulut itu pelan-pelan, hati-hati. Dari kiri ke kanan. Dari kanan ke kiri. Benar-benar rapat. Ia menghela napas lega. Pintu bencana yang selama ini terbuka telah sempurna ditutupnya. Detik itu, ia hendak tersenyum puas. Namun, ketika ia hendak tersenyum, mendadak ada yang sangat nyeri di sekitar bibirnya. Seketika itu pula ia menyadari, bahwa bibirnya tak mungkin bisa ia ajak tersenyum lagi. Karna bibirnya telah tertutup rapat oleh jahitan.




Kucing Kehujanan

Cerpen Ernest Hemingway

Sepasang suami‑istri Amerika singgah di hotel itu. Mereka tidak mengenal orang‑orang yang lalu‑lalang dan berpapasan sepanjang tangga yang mereka lewati pulang‑pergi ke kamar mereka. Kamar mereka terletak di lantai kedua menghadap laut. Juga menghadap ke taman rakyat dan monumen perang. Ada pohon palm besar‑besar dan pepohonan hijau lainnya di taman rakyat itu. Dalam cuaca yang baik biasanya ada seorang pelukis bersama papan lukisnya. Para pelukis menyukai pepohonan palm itu dan warna‑warna cerah dari hotel‑hotel yang menghadap ke taman‑taman dan laut.
Di depan monumen perang tampak iring‑iringan wisata­wan Italia membentuk barisan membujur untuk menyaksikan monumen itu. Monumen yang tampak kemerahan dan berkilauan di bawah guyuran hujan. Saat itu sedang hujan. Air hujan menetes dari pohon‑pohon palm tadi. Air berkumpul memben­tuk genangan di jalan berkerikil. Ombak bergulung‑gulung membuat garis panjang dan memecah di tepi pantai. Beberapa sepeda motor keluar dari halaman monumen. Di seberang halaman, pada pintu  masuk sebuah kedai minum, berdiri seorang pelayan memandang ke halaman yang kini kosong.
Si istri Amerika tadi berdiri di depan jendela memandang keluar. Di sebelah kanan luar jendela mereka ada seekor kucing yang sedang meringkuk di bawah tetesan air yang jatuh dari sebuah meja hijau. Kucing tadi berusaha menggulung tubuhnya rapat‑rapat agar tidak ketetesan air.
“Aku akan turun ke bawah dan mengambil kucing itu,” ujar si istri.
“Biar aku yang melakukannya untukmu,” kata  suaminya  dari tempat tidur.
“Tidak, biar aku saja yang mengambilnya. Kucing malang itu berusaha mengeringkan tubuhnya di bawah sebuah meja.”
Si suami meneruskan bacaannya sambil berbaring bertelekan di atas dua buah bantal pada kaki ranjang.
“Jangan berbasah‑basah,” ia memperingatkan.
Si istri turun ke bawah dan si pemilik hotel segera berdiri memberi hormat kepadanya begitu wanita tadi mele­wati kantornya. Mejanya terletak jauh di ujung kantor. Ia seorang laki‑laki tua dan sangat tinggi.
“Il piove,” ujar si istri. Ia menyukai pemilik hotel itu.
“Si, si, Signora, brutto tempo. Cuaca sangat buruk.”
Ia berdiri di belakang mejanya yang jauh di ujung ruangan suram itu. Si istri menyukai pria itu. Ia suka caranya dalam memberi perhatian kepada para tamu. Ia suka pada penampilan dan sikapnya. Ia suka cara pria tadi dalam melayaninya. Ia suka bagaimana pria itu menetapi profesi­nya sebagai seorang pemilik hotel. Ia pun menyukai ketuaannya, wajahnya yang keras, dan kedua belah tangannya yang besar‑besar.
Dengan memendam perasaan suka kepada pria itu di dalam hatinya, si  istri membuka pintu dan menengok ke­luar. Saat itu hujan semakin deras. Seorang laki‑laki yang memakai mantel karet tanpa lengan menyeberang melewati halaman kosong tadi menuju ke kedai minum. Kucing itu mestinya ada di sebelah kanan. Mungkin binatang tadi berjalan di bawah atap‑atap. Ketika si istri masih termangu di pintu masuk sebuah payung terbuka di belakangnya. Ternyata orang itu adalah pelayan wanita yang mengurusi kamar mereka.
“Anda jangan berbasah‑basah,” wanita itu tersenyum, berbicara dalam bahasa Itali. Tentu pemilik hotel tadi yang menyuruhnya.
Bersama pelayan wanita yang memayunginya si istri berjalan menyusuri jalan berkerikil sampai akhirnya ia berada di bawah jendela kamar mereka. Meja itu terletak di sana, tercuci hijau cerah oleh air hujan, tapi kucing tadi sudah lenyap. Tiba‑tiba ia merasa kecewa. Si pelayan wanita memandanginya.
“Ha perduto qualque cosa, Signora?”
“Tadi ada seekor kucing,” jawab si istri.
“Seekor kucing?”
“Si, il gatto.”
“Seekor kucing?” Pelayan wanita tadi tertawa. “Seekor kucing di bawah guyuran hujan?”
“Ya,” jawabnya, “di bawah meja itu”. Lalu, “Oh, aku sangat menginginkannya. Aku ingin memiliki seekor kucing.”
Ketika ia berbicara dalam bahasa Inggris wajah si pelayan menegang.
“Mari, signora,” katanya. “Kita harus segera kembali ke dalam. Anda akan basah nanti.”
“Mungkin juga,” jawab wanita Amerika itu.
Mereka kembali melewati jalan berkerikil dan masuk melalui pintu. Si pelayan berdiri di luar untuk menutup payung. Begitu si istri lewat di depan kantor, pemilik hotel memberi hormat dari mejanya. Ada semacam perasaan sangat kecil dalam diri wanita itu. Pria tadi membuatnya menjadi sangat kecil dan pada saat yang sama juga membuat­nya merasa menjadi sangat penting. Untuk saat itu si istri merasakan bahwa seolah‑olah dirinya menjadi begitu pentingnya. Ia menaiki tangga. Lalu membuka pintu kamar. George masih asyik membaca di atas ranjang.
“Apakah kau dapatkan kucing itu?” tanyanya sambil meletakkan buku.
“Ia lenyap.”
“Kira‑kira tahu kemana perginya?” tanya si suami sambil memejamkan mata.
Si istri duduk di atas ranjang.
“Aku sangat menginginkannya,” ujarnya. “Aku tidak tahu mengapa aku begitu menginginkannya. Aku ingin kucing malang itu. Sungguh tidak enak menjadi seekor kucing yang malang dan kehujanan di luar sana.”
George meneruskan membaca.
Si istri beranjak dan duduk di muka cermin pada meja hias, memandangi dirinya dengan sebuah cermin lain di tangannya. Ia menelusuri raut wajahnya, dari satu bagian ke bagian lain. Kemudian ia menelusuri kepala bagian belakang sampai ke lehernya.
“Menurutmu bagaimana kalau rambutku dibiarkan pan­jang?” tanyanya sambil menelusuri raut wajahnya kembali.
George mendongak dan memandang kuduk istrinya dari belakang, rambutnya terpotong pendek seperti laki‑laki.
“Aku suka seperti itu.”
“Aku sudah bosan begini,” kata si istri. “Aku  bosan kelihatan seperti laki‑laki.”
George menaikkan tubuhnya. Ia terus memandangi istrinya semenjak wanita itu mulai berbicara tadi.
“Kau cantik dan bertambah manis,” pujinya. Si istri meletakkan  cermin kecil dari tangannya dan berjalan menuju jendela, memandang keluar. Hari mulai gelap.
“Aku ingin rambutku tebal dan panjang agar bisa dikepang,” katanya. “Aku ingin seekor kucing duduk dalam pangkuanku dan mengeong waktu kubelai.”
“Yeah?” komentar George dari ranjangnya.
“Dan aku ingin makan di atas meja dengan piring perakku sendiri dan ada lilin‑lilin. Kemudian aku ingin mengurai rambutku lalu menyisirnya di muka cermin, dan aku ingin seekor kucing, dan aku ingin baju‑baju baru.”
“Ah, sudahlah. Ambillah bacaan,” tukas George. Lalu ia meneruskan membaca lagi.
Istrinya memandang keluar lewat jendela. Semakin gelap sekarang dan dari pohon‑pohon palm masih jatuh tete­san‑tetesan air.
“Baiklah, aku ingin seekor kucing,” ujar istrinya, “aku ingin seekor kucing. Saat ini aku ingin seekor kucing. Seandainya aku tidak bisa memiliki rambut yang pan­jang atau kesenangan lainnya, aku punya seekor kucing.”
George tak peduli. Ia membaca bukunya. Si istri memandang keluar lewat jendela di mana lampu telah menyala di halaman.
Seseorang mengetuk pintu.
“Avanti,” kata George. Ia mendongak.
Di pintu masuk berdiri seorang pelayan wanita. Ia membawa sebuah boneka kucing dari kulit  kura‑kura darat dan menyerahkannya ke depan.
“Permisi,” sapanya, “pemilik hotel ini mengutus saya menyerahkan boneka ini kepada Nyonya.”

ERNEST HEMINGWAY lahir di Illionis pada tahun 1898. Semula ia menjadi sukarelawan sopir ambulans pada masa Perang Dunia I. Sebagai seorang perantauan di Paris, ia meraih sukses pertama kali dengan ceritanya In Our Time. Di antara novel‑novelnya adalah The Sun Also Rises dan A Farewell to Arms. Di akhir hayatnya ia melakukan bunuh diri pada tahun 1961. Judul asli cerita ini Cat In The Rain, diambil dari buku Ernest Hemingway Short Stories hal 265‑268.


15 Cara Alami untuk Mencegah Kanker Payudara


Bulan Oktober adalah Bulan Kanker Payudara, saat untuk memikirkan penyakit yang banyak ditakuti kaum perempuan. Sepuluh tahun yang lalu, para ahli menganggap bahwa kanker payudara adalah penyakit yang sebenarnya tidak dapat dicegah. Sekarang, para peneliti sudah banyak mengetahui cara untuk mencegahnya, paling tidak mengurangi resiko terkena kanker payudara.

Sebetulnya ada 17 cara untuk mengurangi resiko kanker payudara, 2 diantaranya merupakan pencegahan dari segi medis dan sisanya merupakan terapi alternatif.

Adapun pendekatan dari segi medis adalah :

1. Obat pencegah kanker payudara.

Perempuan dengan resiko tinggi, yaitu yang survive/selamat dari kanker payudara atau yang setidaknya memiliki hubungan darah dengan penderita kanker (ibu atau saudara perempuannya), bisa mendapatkan terapi Tamoksifen, yang bekerja dengan cara memblokade efek pemicu tumor dari estrogen.

2. Mastektomi sebelum serangan kanker.

Untuk perempuan dari keluarga dengan resiko genetik yang sangat tinggi, ada suatu mastektomi untuk pencegahan kanker payudara. Memang merupakan suatu pendekatan yang radikal, tetapi kebanyakan berhasil. Mastektomi ini mengangkat jaringan payudara, tapi tidak seluruhnya, sehingga kemungkinan terjadinya kanker masih ada.

Sedangkan pencegahan secara alami meliputi :

1. Berolah raga secara teratur.

Penelitian menunjukkan bahwa sejalan dengan menigkatnya aktivitas, maka resiko kanker payudara akan berkurang. Berolah raga akan menurukan kadar estrogen yang diproduksi tubuh sehingga mengurangi resiko kanker payudara.

2. Kurangi lemak.

Anda tentu sudah sering mendengar pertentangan pendapat mengenai hubungan antara kanker payudara dengan makanan berlemak. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa diet rendah lemak membantu mencegah kanker payudara. Penelitian yang lain menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara lemak dan kanker payudara.. Penelitian terakhir menyatakan bahwa yang lebih penting adalah jenis lemaknya bukan jumlah lemak yang dikonsumsi.

Jenis lemak yang memicu kanker payudara adalah lemak jenuh dalam daging, mentega, makanan yang mengandung susu full-cream (whole-milk dairy foods) dan asam lemak dalam margarin.

Sedangkan jenis lemak yang membantu mencegah kanker payudara adalah lemak tak-jenuh dalam minyak zaitun dan asam lemak omega-3 dalam ikan salmon dan ikan air dingin lainnya.

Lemak jenuh dalam daging dan produk susu dan asam lemak dalam margarin meningkatkan kadar estrogen dalam darah, sedangkan lemak tak-jenuh dalam minyak zaitun dan asam lemak omega-3 dalam ikan tidak menyebabkan kenaikan kadar estrogen dalam darah.

3.Bila anda mengkonsumsi daging, jangan dimasak terlalu matang.

Terlepas dari lemak jenuh yang terdapat dalam daging, cara anda memasak daging akan mempengaruhi resiko kanker payudara. Daging-daging yang dimasak/dipanggang menghasilkan senyawa karsinogenik (amino heterosiklik). Semakin lama dimasak, semakin banyak senyawa ini terbentuk. Amino heterosiklik paling banyak terdapat dalam daging bakar yang lapisan luarnya (kulitnya) gosong dan hitam.

4.Makan lebih banyak buah dan sayuran.

Semakin banyak buah dan sayuran yang dimakan, semakin berkurang resiko untuk semua kanker, termasuk kanker payudara.

Makanan dari tumbuh-tumbuhan mengandung anti-oksidan yang tinggi, diantaranya vitamin A, C, E dan mineral selenium, yang dapat mencegah kerusakan sel yang bisa menjadi penyebab terjadinya kanker. National Cancer Institute (NCI) merekomendasikan untuk mengkonsumsi buah dan sayuran paling tidak 5 (lima) kali dalam sehari. Tapi harus dihindari buah dan sayuran yang mengandung banyak lemak, seperti kentang goreng atau pai dengan krim pisang.

5. Mengkonsumsi suplemen anti-oksidan.

Suplemen tidak dapat menggantikan buah dan sayuran, tetapi suatu formula anti-oksidan bisa merupakan tambahan makanan yang dapat mencegah kanker payudara.

6. Makan lebih banyak serat.

Selain berfungsi sebagai anti-oksidan, buah dan sayuran juga mengandung banyak serat. Makanan berserat akan mengikat estrogen dalam saluran pencernaan, sehingga kadarnya dalam darah akan berkurang.

7. Makan lebih banyak tahu dan makanan yang mengandung kedelai.

Makanan-makanan yang berasal dari kedelai banyak mengandung estrogen tumbuhan (fito-estrogen). Seperti halnya tamoksifen, senyawa ini mirip dengan estrogen tubuh, tapi lebih lemah. Fito-estrogen terikat pada reseptor sel yang sama dengan estrogen tubuh, mengikatnya keluar dari sel payudara sehingga mengurangi efek pemicu kanker payudara.

Selain menghalangi estrogen tubuh untuk mencapai sel reseptor, makanan berkedelai juga mempercepat pengeluaran estrogen dari tubuh.

8. Makan lebih banyak kacang-kacangan.

Selain dalam kedelai, fito-estrogen juga terdapat dalam jenis kacang-kacangan lainnya.

9. Hindari alkohol.

Banyak penelitian yang menunjukkan bahwa semakin banyak mengkonsumsi alkohol, maka resiko kanker payudara semakin bertambah karena alkohol meningkatkan kadar estrogen dalam darah.

10. Perhatikan berat badan anda.

Kenaikan berat badan setiap pon setelah usia 18 tahun akan menambah resiko kanker payudara. Ini disebabkan karena sejalan dengan bertambahnya lemak tubuh, maka kadar estrogen sebagai hormon pemicu kanker payudara dalam darahpun akan meningkat.

11. Hindari xeno-estrogens.

Xeno-estrogen maksudnya estrogen yang berasal dari luar tubuh.

Perempuan mengkonsumsi estrogen dari luar tubuh terutama yang berasal dari residu hormon estrogenik yang terdapat dalam daging dan residu pesitisida estrogenik. Diduga xeno-estrogen bisa meningkatkan kadar estrogen darah sehingga menambah resiko kanker payudara.

Cara terbaik untuk menghindari xeno-estrogen adalah dengan mengurangi konsumsi daging, unggas (ayam-itik) dan produk susu (whole-milk dairy product).

Tetapi anda tidak perlu khawatir dengan banyak makan buah dan sayuran, karena efek anti-oksidan dan kandungan seratnya lebih banyak daripada efek residu pestisidanya.

12. Berjemur dibawah sinar matahari.

Meningkatnya angka kejadian kanker kulit (Melanoma maligna) menjadikan kita takut akan sinar matahari. Tetapi sedikit sinar matahari dapat membantu mencegah kanker payudara, karena pada saat matahari mengenai kulit, tubuh membuat vitamin D. Vitamin D akan membantu jaringan payudara menyerap kalsium sehingga mengurangi resiko kanker payudara. Agar bisa memperoleh sinar matahari selama 20 menit/hari, dianjurkan untuk berjalan dibawah sinar matahari pada siang hari atau sore hari. Tetapi bila anda ingin mendapatkan kalsium atau vitamin D tidak dari sinar matahari, anda dapat mencoba mengkonsumsi makanan suplemen.

13. Jangan merokok.

Merokok akan meningkatkan resiko kanker payudara.

14. Menyusui/memberikan ASI kepada anak anda

Untuk alasan yang masih belum jelas, menyusui berhubungan dengan berkurangnya resiko kanker payudara sebelum masa menopause.

15. Pertimbangkan kembali sebelum menggunakan terapi pengganti hormon (Hormone Replacement Therapy = HRT).

Ada beberapa alasan bagus untuk melakukan HRT sesudah masa menopause, yaitu mengurangi resiko penyakit jantung, osteoporosis dan penyakit Alzheimers. Tetapi HRT akan menambah resiko kanker payudara. Bicarakan dengan dokter anda dan pertimbangkan resiko-resiko yang mungkin timbul, karena kebanyakan perempuan lebih tinggi resikonya untuk menderita penyakit jantung, daripada kanker payudara.


Terakhir, satu lagi hal yang dapat mempengaruhi resiko terkena kanker payudara adalah stress.

Literatur medis menyebutkan bahwa stress dapat menigkatkan resiko kanker payudara. Tetapi penelitian tentang hal ini masih bersifat kontroversial. Namun tidak ada salahnya untuk memulai cara mengatasi stress dalam hidup anda melalui meditasai, yoga, tai chi, berkebun atau kegiatan santai lainnya.