get this widget here

Tuesday 30 December 2014

SARONAY DAN BULAN BULAT

Cerpen Toni Lesmana (Kompas, 7 Desember 2014)

 

Mereka duduk di rel. Satu jalur rel yang tak terpakai, dari lima jalur yang ada di depan stasiun kecil yang sunyi itu. Rel di pinggir parit ini adalah rel terjauh dari depan stasiun. Rel ini berakhir di sebuah tugu mungil setinggi satu meter, ke sananya lagi kebun singkong. Mereka duduk tepat di depan mulut sebuah gang yang, diapit kolam-kolam kecil, mengarah ke rumah-rumah temaram.
Tak ada kereta yang lewat. Sepi. Angin mengantar dingin. Lampu di stasiun seberang mereka benderang. Begitu pula lampu-lampu yang menerangi rel. Enam tiang, setiap tiang dua lampu. Mirip sepasang mata. Sedikit jauh di arah barat dan timur, pada jarak yang mulai gelap, di setiap jalur berdiri juga tiang-tiang lampu lainnya. Semuanya menyorotkan warna merah. Empat di barat, empat di timur.
Saronay menatap bulan bulat putih di langit. Ia tercekat. Tiba-tiba saja dalam pandangannya melayang-layang kain kafan. Bulan yang putih, malam ini, tak lagi cahaya. Ia melihat kafan melayang di langit.
”Batu-batu bisa mengaduh, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya melempar-lempar batu kecil ke arah rel yang lain. Kadang terbit denting, selebihnya senyap.
Saronay masih menikmati langit. Seperti seseorang yang bercermin dan terkesima menemukan bukan dirinya yang nampak di cermin. Ia tengadah dengan napas tertahan. Ia ingin bertanya kenapa bulan tampak seperti kain kafan. Kain kafan yang seakan dipenuhi kata-kata. Kata-kata yang tak bisa ia baca.
Ia tahu tak mungkin bertanya pada kekasihnya yang sedang dibakar cemburu. Kekasihnya selalu cemburu jika Saronay mabuk. Setiap kali mabuk ia selalu mendiamkan kekasihnya. Dan kalau sedang cemburu, kekasihnya akan minum lebih banyak, dan lebih mabuk darinya.
”Angin bisa bikin gigil, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya merapatkan jaket. Membakar rokok. Batuk-batuk. Rokok diinjak. Membakar lagi yang baru. Batuk-batuk lagi. Kunang-kunang hinggap di batu. Dikejarnya dengan bara rokok. Tak berhasil. Bara rokok ditekankan ke punggung tangan kirinya. Terpejam. Padam.
Saronay bangkit, tangannya menggapai-gapai udara, seakan ingin menangkap bulan. Tubuhnya bukannya melompat, malah miring.
Bunyi tanda akan kedatangan kereta nyaring dari stasiun. Suara operator mengabarkan nama kereta, kota asal dan tujuan kereta tersebut. Beberapa petugas keluar dari ruangan. Berdiri di pinggir rel jalur satu. Satu lampu merah berganti hijau di arah timur. Suara gemuruh dari timur. Sorot cahaya datang. Gemuruh dan cahaya mendekat. Melambat. Kereta dengan gerbong-gerbong kosong berhenti. Stasiun tertutup kereta.
”Kereta bisa gemuruh, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya membakar rokok. Batuk-batuk. Dan menekan bara pada punggung tangan. Tak meringis. Hanya menangis.
Saronay semakin miring. Jarinya meraih-raih di udara. Mukanya tetap tengadah. Bulat bulat putih. Jauh melayang di angkasa. Melayang-layang kain kafan. Remang muram kata-kata.
Beberapa wajah mengintip dari jendela kereta. Sebagian kepala-kepala terkulai seperti tak berbadan. Peluit nyaring. Gemuruh. Kereta berangkat. Pelan. Ke arah barat. Menghilang di gelap kelokan. Para petugas menghilang lagi ke ruangan. Stasiun hanya terang lampu dan beberapa burung mungil yang mencari tempat tidur.
Siapa yang tenang bersemayam dalam kafan, kata-kata apa yang nyaman berkendara kafan, di mana bulan, di mana cahaya. Saronay terus miring oleh gejolak pertanyaan, telunjuknya mulai menunjuk langit. Runcing dan gemetar.
”Luka bisa bikin perih, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya mulai membuka botol minuman. Mereguknya lalu dimuntahkan pada luka di punggung tangannya. Berulang. Bau minuman dibawa angin.
Kunang-kunang hinggap di rel. Cepat botol minuman menghajarnya. Prang. Botol dalam genggaman tersisa setengahnya. Ujung-ujung runcingnya berkilat. Tajam.
Saronay terjatuh telentang di atas rel dengan wajah tetap memandang langit, telunjuk lurus ke bulan.
Kekasihnya mulai menjilati reruncing botol. Menikam punggung lengan. Ditarik lagi. Dijilati lagi.
Seseorang muncul dari gudang tua di sebelah kanan stasiun. Berjalan melintasi rel. Seorang lagi berlari menyusul. Tepat di bawah sepasang lampu, nampak pakaian mereka lusuh. Lelaki dan perempuan. Berjalan menuju Saronay dan kekasihnya.
”Bagaimana? Kau dapat banyak? Beli apa saja buat makan?” tanya yang lelaki, mungkin suaminya.
”Orang-orang makin pelit! Ini aku beli ikan bakar kesukaanmu.” jawab yang perempuan.
”Mantap itu. Ya. Hanya anak-anak saja yang masih mau memberi.”
”Barangkali mereka sudah tak percaya pada amal.”
”Jaman memang makin sulit. Semakin tak ada yang murah hati.”
”Padahal rejeki mereka akan berlipat kalau banyak memberi pada orang miskin.”
”Haha … rejeki kita yang berlipat kalau mereka banyak memberi.”
Mereka tertahan sejenak.
”Beri mereka!” bisik suaminya.
”Beri apa?” bisik istrinya.
”Uang receh. Sekali-kali kita memberi. Mereka lebih menyedihkan dari kita. Biar rejeki kita berlipat.”
”Mereka orang kaya.”
”Ya. Tapi lebih menyedihkan dari orang miskin.”
Istrinya melempar uang receh. Suami istri peminta-minta berjalan hati-hati. Hampir mengendap-endap. Menghindari Saronay dan kekasihnya. Melompati parit. Masuk gang.
Petugas keamanan stasiun keluar. Berdiri. Melihat ke segala arah. Seorang lagi keluar. Seluruhnya tiga orang. Dua orang membawa senter. Berjalan menyusuri dan menyoroti rel ke arah timur. Sampai lampu yang berwarna merah. Kembali lagi. Masuk lagi ke ruangan.
Angin makin dingin. Kabut turun. Tipis. Membayang di lampu-lampu.
Bulan bulat putih. Pucat. Sedikit bergeser ke barat.
Saronay mendadak bangun. Duduk miring. Di matanya kafan berubah menjadi sajadah putih. Kata-kata yang remang gelap berlepasan dan menyatu berdiri di atasnya. Sajadah melayang dan kata-kata tegak.
Saronay merasakan gelegak pertanyaan. Di mana bulan, di mana cahaya. Pertanyaan yang saling berbenturan dalam kepalanya. Ia berharap dapat membaca kata-kata itu. Ia berharap jawaban. Tapi pikirannya benar-benar mabuk.
”Darah bisa ngalir, tapi mereka tak bisa bicara!” kekasihnya masih menjilati darah di ujung reruncing botol. Luka tak hanya di punggung tangan, tapi memanjang di lengan, sebagian di pipi.
Seluruh tubuh Saronay bergetar. Ia mencoba bangkit lagi. Miring. Jari-jarinya meraih-raih. Di matanya terus saling bergantian antara kafan dan sajadah. Kata-kata yang terbaring dan tegak.
Saronay merasakan gelegak terus memuncak. Ia tak tahan dengan serbuan mabuk, tikaman pertanyaan.
”Aku harus pergi! Kita benar-benar harus berpisah!” ucapnya patah-patah sambil tetap menatap bulan bulat putih, sambil semakin miring.
”Tak bisa. Kita saling mencintai! Kau terlalu mabuk. Dan aku cemburu pada mabukmu.” kekasihnya mengangkat botol tinggi-tinggi.
”Ada yang lebih mencintaiku!” suara Saronay berat serak.
”Tak ada yang lebih mencintaimu daripada aku!”
”Aku harus pergi! Aku tak mencintaimu!”
”Kau mencintaiku!”
”Aku harus pergi! Aku harus pergi!” Saronay mulai berteriak tapi tubuhnya semakin miring.
”Kau mabuk! Kau lebih mencintai mabuk daripada aku!” kekasihnya mengarahkan ujung botol ke muka Saronay yang masih saja tengadah ke langit.
”Aku harus pergi!”
”Kau mau pergi ke mana? Mabuk ada dalam tubuhmu. Akan kukeluarkan sekarang juga.” Kekasihnya bergerak mengancam.
”Aku harus pergi! Pergi menemukan kata-kata! Kata-kata!” Saronay tak memedulikan ancaman reruncing botol. Matanya dipenuhi kafan dan sajadah, yang terus bergantian, menggodanya dengan kata-kata.
”TIdak bisa! Kau mabuk, Kekasihku! Jika mau pergi kau harus bertempur dulu denganku. Baru kau boleh bertemu dengan apa saja. Mabuk sialan. Kata-kata sialan! Kalau perlu kuantar kau ke rumah mabuk, ke rumah kata-kata.” kekasihnya bergerak memburu. Cemburu sudah
”Aku harus pergi! Aku mencintai kata-kata!” Saronay masuk dalam pelukan kekasihnya.
Bunyi tanda kedatangan kembali nyaring dari stasiun. Gemuruh di kejauhan. Sorot cahaya dari arah barat.
Saronay yang terus meracau digusur kekasihnya memasuki gang. Darah menetes di gang. Berbelok ke sebuah mushola di pinggir kolam. Keduanya lenyap bersamaan dengan decit memanjang dari kereta yang berhenti.
Bulan bulat putih semakin tergelincir ke barat. Selepas kereta berangkat lagi, stasiun kembali sunyi. Angin semakin dingin. Berhembus tipis. Mengiris apa saja.
Kegaduhan terjadi menjelang subuh. Seseorang yang hendak masuk mushola, tiba-tiba berlari dan berteriak-teriak seperti orang gila, berlari ke rumah-rumah temaram. Menggedor setiap pintu.
Orang-orang dengan kantuknya masing-masing berhamburan menuju mushola.
”Ada apa?” teriak seseorang yang baru datang.
”Saronay dan Sarotoy!” jawab yang lain gemetar.
”Pemabuk itu? Pasangan itu? Kenapa?” teriak yang lain.
”Mati di mushola!” jawab yang lainnya lagi terkencing-kencing.
”Beruntung sekali mereka mati dalam mushola. Mungkin mereka dijemput ajal ketika sedang tobat!” kata yang lainnya, diamini oleh yang juga baru datang.
Orang-orang berebutan ingin melihat ke dalam mushola, nampak di sana berpelukan sepasang tubuh bermandikan darah. Darah di mana-mana. Sepasang tubuh laki-laki telanjang. Saronay dan kekasihnya.
Orang-orang terus berdatangan. Mushola mendadak ramai seperti pasar. Stasiun tetap didatangi dan ditinggalkan kereta.
Di langit, bulan bulat putih terus mengelinding ke arah barat. Putih pucat bercadar awan tipis. Seperti dibungkus kafan, seperti mengendarai sajadah.


0 comments:

Post a Comment