Oleh: I Putu Supartika
“Hidupku kan damaikan hatimu, diriku kan
slalu menjagamu, ijinkan ku slalu bersamamu, kasih kepadamu......” *)
Jika
aku mendengar lantunan lagu indah ini, maka aku akan selalu ingat segalanya
tentang kita. Tentang kenangan yang indah dalam naungan cinta suci. Cinta yang
tumbuh dari hati yang paling dalam. Yang akan selalu terbesit dalam pikiran,
dan menjadi warna yang selalu memberikan kesejukan kepadaku, dan kepada seluruh
hidupku. Sepanjang hidupku.
Cinta
yang tumbuh diantara kita begitu subur. Sangat subur, bagaikan tanaman yang
selalu diberi pupuk setiap saat dan berbuah lebat. Maka seperti itulah cinta
kita. Cinta yang terajut dari kasih yang mengalir bagai air sungai. Mengalir dari
hulu ke hilir dan bermuara di hati. Menjadi satu. Bagaikan samudra yang menjadi
muara dari segala penjuru mata air yang menyatu tanpa bisa kita kenali. Dan
seperti itu juga cinta kita yang tulus. Yang selalu kita selami dulu.
Dulu
juga kau pernah berbisik di telingaku. Waktu itu adalah malam minggu. Malam
akhir pertemuan kita sebagai sepasang kekasih yang saling mencintai. Malam yang
menjadi saksi dalam kebisuan tentang riwayat cinta kita. Kau berbisik pelan di
telingaku sepelan hembusan angin waktu itu.
“Jadikan
aku bintangmu sayangku!”
Hanya
itu. Ya hanya itu yang kau bisikkan. Dengan suaramu yang lembut. Degan suara
yang selalu aku dengar dari dua buah onggokan daging merah di bawah hidungmu.
Yang selalu aku ingat sampai detik ini. Selalu terniang di saat aku mengingat
wajahmu. Wajah yang menjadi dambaan setiap lelaki sepertiku.
Setelah
kau berbisik di telingaku, lalu kau pergi meninggalkanku yang duduk sendiri di
atas bangku panjang di taman itu. Taman kenangan cinta kita. Taman rahasia
saksi perjalanan cinta kita yang selalu aku kenang dari aku membuka mata hingga
aku kembali menutup mata. Sungguh sebuah kenangan yang akan menjadi sejarah dan
akan tercatat di setiap sanubari kita berdua sayangku.
Aku
tak tau kemana dirimu setelah itu. Aku hanya mendengar desas-desus dari
teman-temanmu, dari tetangga-tetanggamu, dan juga orang terdekatmu, bahwa kau
telah dijodohkan dengan pilihan orang tuamu. Mulanya aku menghadapinya biasa
saja. Aku menganggap itu hanya pergunjingan di tepi jalan, atau hanya sebuah
sandiwara orang-orang yang ingin merusak hubungan kita. Namun, lama kelamaan
desas-desus itu semakin membuatku sesak, seakan-akan diriku tertusuk oleh
belati yang tajam. Tubuhku terasa dikuliti habis-habisan. Telingaku teras
bengkak ketika adik kandungmu yang aku temui di sebuah pusat perbelanjaan
mengatakan bahwa kau telah meninggalkanku dan memilih pergi dengan dia, pilihan
orang tuamu.
Ternyata
dugaanku selama ini, yang menganggap itu hanya rekayasa orang-orang yang ingin
memisahkan kita salah. Bahkan salah total. Dan aku tidak habis pikir. Mengapa
dirimu tidak pernah mengatakan hal itu kepadaku sebelumnya? Mengapa dirimu di
depanku bertingkah biasa saja seperti tak ada apa-apa? Aku heran.
Sungguh-sungguh heran. Mana mungkin kau mau pergi dengan dia walau kau tak
pernah mencintainya? Atau mungkin aku yang salah mengira. Mungkin kau
mencintainya, dan aku tidak tau. Tapi bagaimana mungkin kau mencintainya,
sementara kau selalu bersamaku. Dan kau selalu bilang kepadaku, “aku
mencintaimu, dan aku tak mau jauh darimu” sambil kau kecup keningku, dan aku
membalas kecupan itu dengan manja. Namun, tetap saja aku masih penasaran dan
aku selalu menganggap dirimu telah menghianatiku.
Lama
kelamaan akhirnya aku menyadari, bahwa diriku begitu bersalah karena telah
menganggapmu penghianat. Andai saja kau tau aku telah menganggapmu penghianat
mungkin aku malu sendiri. Mungkin juga, kalau diijinkan Tuhan untuk bertemu
denganmu, mungkin aku akan berlutut di hadapanmu, untuk meminta maaf. Tapi
Tuhan mungkin tak akan membiarkan itu terjadi lagi.
Mulai
saat itu, aku tak pernah lagi menyalahkan dirimu atau menganggapmu sebagai
penghianat. Sedikitpun. Aku tau dan aku mulai sadar mungkin itu demi kebaikan
keluargamu. Dan aku sadar mungkin itu yang terbaik buatmu dan buat kedua orang
tuamu. Mungkin juga Tuhan memang tidak mentakdirkan kita untuk bersama. Atau
mungkin takdir berkehendak lain kepada kita. Tapi entahlah aku juga tidak tau.
Yang pasti aku tak pernah menyalahkanmu lagi sejak itu.
Bahkan
kini, aku mulai rajin datang ke taman kenangan cinta kita. Aku duduk di bangku
panjang ditemani angin malam, sambil membayangkan dirimu duduk di sampingku
sambil membisikkan kata yang indah, yang membuat diriku melayang. Membuat
diriku merasa bahagia karena aku pernah berada di sampingmu. Pernah mengisi
hari-harimu. Pernah melukis kenangan bersamamu di atas kanvas waktu yang abadi.
Hari
demi hari berlalu begitu saja di depan mataku. Aku tak pernah merasakan putaran
waktu lagi. Siang dan malam terasa sama bagiku. Yang aku ingat selalu adalah
duduk di taman cinta saat malam hari sambil menikmati bintang-bintang yang
selalu menyapa diriku.
Sepulang dari bekerja, saat langit mulai gelap
pikiranku hanya tertuju pada taman itu. Taman cinta. Tepatnya taman kenangan
cinta kita. Aku tak pernah jemu-jemu untuk duduk di atas bangku panjang di
taman itu. Walaupun aku telah mengulangnya berkali-kali, dengan suasana yang
sama bahkan tetap sama tanpa perubahan sedikitpun. Namun, ketika aku duduk di
sana semua kenangan cinta kita seperti kembali lagi seperti semula. Aroma-aroma
yang dulu begitu hangat aku rasakan seperti aku rasakan kembali. Kesejukan
hatimu tumbuh menjadi bunga-bunga yang bermekaran di taman itu. Kata-katamu
yang pernah menyejukkan hatiku serasa memenuhi area taman itu. Merasuk ke
pelosok-pelosok terkecil. Hingga aku ,merasa kedamaian hanya ada di sana. Di
taman cinta.
Semakin
hari aku semakin gila. Sampai-sampai aku kadang bermalam di taman itu. Dan kebiasaanku
yang lain mulai tumbuh. Yaitu memandangi bintang yang bersinar di atas taman
cinta.
Setiap
malam, sesampainya di taman aku memandang langit sambil duduk di bangku
panjang. Aku mencari-cari bintang yang bersinar paling terang diantara ribuan
bintang yang bersinar di atas taman. Jika aku menemukannya, maka bahagialah
hatiku. Dan aku akan berbincang-bincang dengannya. Seperti sepasang kekasih.
Karena aku merasa bintang yang bersinar paling terang itu adalah jembatan untuk
berbicara dengan dirimu. Dirimu yang jauh di sana. Di tempatmu berada dengan
lelaki pilihan orang tuamu.
Aku
yakin dirimu juga merasakan hal yang sama denganku. Kau pasti akan memandangi
langit setiap malam dan mencari-cari bintang yang bersinar paling terang. Lalu
kau akan mendengar semua kata-kata yang diucapkan bintang itu kepadamu tentang
diriku. Hingga kau merasa dekat denganku. Berada di sisiku sayang.
Dan
kau pula akan selalu melihat bayangan diriku lewat bintang yang bersinar paling
terang. Bayang-bayang diriku akan menemanimu dalam tidurmu. Hingga kau bermimpi
tentang diriku. Lalu aku yang berada di taman cinta melihat bintang yang paling
terang akan merasakan bahwa aku sedang duduk di bangku panjang itu bersamamu,
sambil kau sandarkan kepalamu di pundakku.
Aku
tersenyum kecil di taman cinta ini.
*) potongan lagu yang berjudul ‘Hidupku Kan
Damaikan Hatimu’ yang dipopulerkan Caffeine.
Singaraja, 24 November 2013
0 comments:
Post a Comment