get this widget here

Saturday, 17 August 2013

Puisi Ajip Rosidi


Surat Cinta Enday Rasidin


Kita telah pergi bersama senja yang tenggelam
Masuk kerajaan besar yang juga lagi tenggelam
Masuk gerbang yang tersundul kepala bersinar remang
Kita telah jalan dengan tangan di saku celana
Negara di mana rumah berjendela sepenuh arah
Negara di mana rumah menampung cahya
            keempat penjuru

Negara mereka yang kucinta
Dengan bisik mesra dari suara sudah parau
Dengan bisik parau dari suara yang mesra

Di mana orang ketawa dan ketawa
Walau mata sudah lama kehabisan cahya

Kita telah jalan sama didera sinar matahari
Kita telah jalan sama ditelah kelam malam
Menemui pojok pondok yang depek
Dalam baju longgar dan sepatu sebelah lebih besar

Pondok di mana atap setinggi dada
Pondok di mana bilik hanya sedepa
Pondok mereka yang kucinta
Penuh tawa lepas tanpa lelucon
Penuh lelucon dengan tawa yang lepas

Di mana orang bicara dan bicara
Walau mulut sudah lama kehabisan kata

Kita telah jalan sama bergandengan tangan
Kita telah jalan sama beriringan
Dengan pantalon yang digulung hingga lutut
Berpeci miring dan saputangan bersulam biru

Di mana orang ketawa dan bicara
Di sana kita tenggelam antara mereka

1956







L’enfant Terrible


Membungkuklah langit: rintik menangisi
Anak yang tiada rumah kan pulang
Berdiri tegap di railing jembatan
Mentertawakan langit cengeng hati

Taufan mengamuk di tengah lautan
Kapal terbanting kan pecah tenggelam
Anak yang tiada siapa kan meminta
Tenang dalam ketenangan belia

Dunia terbakar dalam perang
Api dan peluru dan dendam menerjang
Anak yang tiada tanah air kan pulang
Menyuruk antara maut dan ancaman pedang

Namun jika masuk dalam ruangan
Penuh orang tua-tua yang sopan
Menyambutnya hormat dan segan
Anak yang selalu hidup sendiri
Tersiksa hati dan lemah sendi
Ingin kembali ke tengah ancaman
Dan maut yang menjangkaukan tangan

1959







Kusaksikan Manusia


Kusaksikan manusia dendam-mendendam
Kudengar denyut ketakutan mengejar siang dan malam
Kuyakinkan mereka akan kebaikan manusia
Tapi kusaksikan pula kesetiaan pun dikhianati

Kukatakan: Ini tanah kita, orang lain tak usah campur!
Tapi kulihat mereka mengangkat senjata,
            lalu menggempur:
Berikan segala tanah, semua punya kami!
Yang menang pun mengibarkan panji-panji

1957








Tanah Sunda


Ke mana pun berjalan, terpandang
daerah ramah di sana
Ke mana pun ngembara, kujumpa
manusia hari terbuka
mesra menerima

Pabila pun berseru menggetar nyanyi
suara rindu bersenandung duka
Pabila pun bertemu, menggetar hati
sawang lepas terhampar luas
dunia hijau muda

Riak sungai pagi-pagi
Angin keras menyibak rambut di dahi
Dan kulihat tanah penuh darah
tubuh beku terbaring kuyu
menggapaikan tangan sia-sia
berseru pun sia-sia

Ah, di mana pun kaubukakan rangkuman
ku kan menetap di sana
Kapan pun kaulambaikan tangan
ku kan datang
menekankan jantung ke tanah hitam

1956







Nyanyian Para Petani Jatiwangi

I
Dari pagi hingga petang
Kulepas kerbauku sayang
Entah ke mana kau menuju
Entah di mana kusembunyi

Dari pagi hingga petang
Haram riang, kerja tak tentram
Subur sawah: rumput dan lalang
Burung lapar berputaran terbang

Wahai, bukan peninggalan karuhun kusia-siakan
Tanah terbengkalai, kolam kering
Wahai, bukan tak mau sawah kukerjakan
Dalam hati penuh ketakutan

II
Kalau hari menjelang senja
Lengang pematang, lengang rumah
Tiada anak mengandangkan ayam

Kalau hari menjelang petang
Berat dan tiada harapan
Bayang-bayang lenyap di tikungan

Kalau hari menjelang malam
Tiada lelaki merasa aman
Dalam rumah sendiri

Kalau malam telah datang
Tiada nyanyi bunda menidurkan
Tiada lepas tangis bayi

Kalau malam telah turun
Tiada suling, tiada pantun
Hanya gaang, hanya angin

Kalammalam telah tiba
Tiada kacapi, tiada kinanti
Asmarandana dalam hari

Kalau malam telah datang
Entah besok masih kujelang
Entah mentari kulihat lagi

III
Wahai bulan, sunyinya sendirian
Tiada pemuda kan berpesan
Membisikkan kerinduan

Wahai bulan, alangkah muram
Tiada perawan kan menyanyi
Menyampaikan bisik hati

Wahai bulan, alangkah pelan
Muram dan sepi
Apa yang kautatap?

Wahai bulan, alangkah lama
Was-was dan ngeri
Mentari yang kuharap

Alangkah kusuka memandang bulan
Remang dan lembut
Tapi hati penuh takut

IV
Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi
Berapa rumah musnah? Berapa yang mati?

Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi?
Gilirankukah atau Madhapi?

Fajar kembang merekah
Duhai, pabila burung berkicau
alangkah lega hati

1958





0 comments:

Post a Comment