Surat Cinta Enday Rasidin
Kita telah pergi bersama senja yang tenggelam
Masuk kerajaan besar yang juga lagi tenggelam
Masuk gerbang yang tersundul kepala bersinar remang
Kita telah jalan dengan tangan di saku celana
Negara di mana rumah berjendela sepenuh arah
Negara di mana rumah menampung cahya
keempat penjuru
Negara mereka yang kucinta
Dengan bisik mesra dari suara sudah parau
Dengan bisik parau dari suara yang mesra
Di mana orang ketawa dan ketawa
Walau mata sudah lama kehabisan cahya
Kita telah jalan sama didera sinar matahari
Kita telah jalan sama ditelah kelam malam
Menemui pojok pondok yang depek
Dalam baju longgar dan sepatu sebelah lebih besar
Pondok di mana atap setinggi dada
Pondok di mana bilik hanya sedepa
Pondok mereka yang kucinta
Penuh tawa lepas tanpa lelucon
Penuh lelucon dengan tawa yang lepas
Di mana orang bicara dan bicara
Walau mulut sudah lama kehabisan kata
Kita telah jalan sama bergandengan tangan
Kita telah jalan sama beriringan
Dengan pantalon yang digulung hingga lutut
Berpeci miring dan saputangan bersulam biru
Di mana orang ketawa dan bicara
Di sana kita tenggelam antara mereka
1956
L’enfant Terrible
Membungkuklah langit: rintik menangisi
Anak yang tiada rumah kan pulang
Berdiri tegap di railing jembatan
Mentertawakan langit cengeng hati
Taufan mengamuk di tengah lautan
Kapal terbanting kan pecah tenggelam
Anak yang tiada siapa kan meminta
Tenang dalam ketenangan belia
Dunia terbakar dalam perang
Api dan peluru dan dendam menerjang
Anak yang tiada tanah air kan pulang
Menyuruk antara maut dan ancaman pedang
Namun jika masuk dalam ruangan
Penuh orang tua-tua yang sopan
Menyambutnya hormat dan segan
Anak yang selalu hidup sendiri
Tersiksa hati dan lemah sendi
Ingin kembali ke tengah ancaman
Dan maut yang menjangkaukan tangan
1959
Kusaksikan Manusia
Kusaksikan manusia dendam-mendendam
Kudengar denyut ketakutan mengejar siang dan malam
Kuyakinkan mereka akan kebaikan manusia
Tapi kusaksikan pula kesetiaan pun dikhianati
Kukatakan: Ini tanah kita, orang lain tak usah campur!
Tapi kulihat mereka mengangkat senjata,
lalu menggempur:
Berikan segala tanah, semua punya kami!
Yang menang pun mengibarkan panji-panji
1957
Tanah Sunda
Ke mana pun berjalan, terpandang
daerah ramah di sana
Ke mana pun ngembara, kujumpa
manusia hari terbuka
mesra menerima
Pabila pun berseru menggetar nyanyi
suara rindu bersenandung duka
Pabila pun bertemu, menggetar hati
sawang lepas terhampar luas
dunia hijau muda
Riak sungai pagi-pagi
Angin keras menyibak rambut di dahi
Dan kulihat tanah penuh darah
tubuh beku terbaring kuyu
menggapaikan tangan sia-sia
berseru pun sia-sia
Ah, di mana pun kaubukakan rangkuman
ku kan menetap di sana
Kapan pun kaulambaikan tangan
ku kan datang
menekankan jantung ke tanah hitam
1956
Nyanyian Para Petani Jatiwangi
I
Dari pagi hingga petang
Kulepas kerbauku sayang
Entah ke mana kau menuju
Entah di mana kusembunyi
Dari pagi hingga petang
Haram riang, kerja tak tentram
Subur sawah: rumput dan lalang
Burung lapar berputaran terbang
Wahai, bukan peninggalan karuhun kusia-siakan
Tanah terbengkalai, kolam kering
Wahai, bukan tak mau sawah kukerjakan
Dalam hati penuh ketakutan
II
Kalau hari menjelang senja
Lengang pematang, lengang rumah
Tiada anak mengandangkan ayam
Kalau hari menjelang petang
Berat dan tiada harapan
Bayang-bayang lenyap di tikungan
Kalau hari menjelang malam
Tiada lelaki merasa aman
Dalam rumah sendiri
Kalau malam telah datang
Tiada nyanyi bunda menidurkan
Tiada lepas tangis bayi
Kalau malam telah turun
Tiada suling, tiada pantun
Hanya gaang, hanya angin
Kalammalam telah tiba
Tiada kacapi, tiada kinanti
Asmarandana dalam hari
Kalau malam telah datang
Entah besok masih kujelang
Entah mentari kulihat lagi
III
Wahai bulan, sunyinya sendirian
Tiada pemuda kan berpesan
Membisikkan kerinduan
Wahai bulan, alangkah muram
Tiada perawan kan menyanyi
Menyampaikan bisik hati
Wahai bulan, alangkah pelan
Muram dan sepi
Apa yang kautatap?
Wahai bulan, alangkah lama
Was-was dan ngeri
Mentari yang kuharap
Alangkah kusuka memandang bulan
Remang dan lembut
Tapi hati penuh takut
IV
Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi
Berapa rumah musnah? Berapa yang mati?
Siapa itu melangkah berat dan ribut
Siapa lagi malam ini didatangi?
Gilirankukah atau Madhapi?
Fajar kembang merekah
Duhai, pabila burung berkicau
alangkah lega hati
1958
0 comments:
Post a Comment